Sendu Pelantun Bus

18 4 0
                                    


Sungguh ku menyesal telah mengenal dia

Dan aku kecewa telah menyayanginya

Dan aku tak akan mengulang kedua kalinya

Aku melantang dalam nyanyian senduku. Mengingat kembali kisah setahun yang lalu, perkenalanku dengannya. Gadis berbaju merah berlipstik tipis dengan bedak tak ada cemot. Manusia pertama yang aku cintai.

Ku nyanyikan dalam bus jurusan Surabaya yang kebutnya menyaingi burak. Pontang - panting menggetar suaraku, tapi pantang aku berhenti. Layaknya pujangga yang kehabisan kata, aku terus bernyanyi.

Pandanganku menangkap perempuan berbaju merah. Rambut menggerai seperti ombak di lautan. Laut yang pernah aku lihat saat kecil di Pacitan. Hidungnya sedikit nongol dari samping. Tampaknya mancung. Ah, mungkinkah itu Billa?

Tetapi, mana mungkin dia itu Billa. Sedangkan Billa sudah lama tak pernah terlihat lengkuk tubuhnya di depanku. Tak pernah terlihat selama 364 hari terhitung sekarang. Dan esok adalah peringatan setahun diriku tanpa Billa.

Ah, sial. Kepalaku terasa berat. Rasanya seperti dipukul dengan tongkat sampai pecah. Lalu, pecahannya dikumpulkan untuk diremas - remas.

Aku benci. Tiap Billa hadir dalam ingatanku, kepalaku akan seperti ini. Memaksa menutup mata dan memindah ingatanku ke kenangan yang lain. Meskipun kenangan yang lain sama buruknya.

Billa, gadis berhidung mancung seperti papan skateboard. Rambutnya seperti ombak yang jatuh saat menerpa karang. Berwarna hitam legam, namun mengkilat layaknya sepatu usai disemir.

Jangan tanya matanya, bagian yang paling kutunggu saat dirinya menoleh. Bulat dan besar. Ia menonjol di antara lengkuk wadah bola matanya. Namun, jangan salah, itu membuat alisnya yang tipis semakin anggun. Sekaligus tatapannya menjadi lebih tajam ketimbang pembawa acara selebrita di siang hari.

Warna favoritnya merah, aku menyimpulkan ini dari kesehariannya yang suka memakai baju berwarna merah. Namun, di hari - hari tertentu ia memakai biru. Biru menjadi tanda mood Billa sedikit terganggu. Atau kuning, biasanya ia memakai ini ketika ingin lebih diperhatikan. Tetap saja, dengan merah ia menjadi lebih terpancar.

Sudahlah. Sekeras apapun kugelengkan kepalaku, ia tak akan kembali di hadapanku lagi. Aku memilih berjalan dan menawarkan tiap penumpang untuk mengisi kantong yang kubawa. Kantong ajaib dari bungkus permen. Bagaimana bisa ajaib? Karena saat kuhitung isinya akan berubah terus menerus. Pagi kuhitung ada lima ribu rupiah, belum lima menit kuhitung lagi menjadi sepuluh ribu rupiah.

Usai setiap penumpang kusodori kantong ajaib, aku menuju pintu belakang bus. Bersender di salah satu besi dan bercengkrama dengan kernet.

"Sepi pak?"

"Rame gini kok dibilang sepi mas."

"Kan biasanya sampai penuh berdiri ini."

"Kasihan sampeyan nanti sulit mondar mandir."

"Waduh, jadi sungkan ini."

Obrolan kami semakin intensif. Aku menceritakan alasanku menjadi pengamen bus. Ayahku yang tak mau tau keadaan keluarga. Mabuk adalah pekerjaan sehari - hari dan ngomel jadi pekerjaan sampingan. Sedang Ibuku hanya buruh tani. Kisut kulitnya diterpa matahari dan tanah sampai ingin aku amplas.

"Yang penting ngamen jalan terus aja mas."

"Iya, pak. Syukur saya dulu enggak jadi berhenti."

"Loh, memangnya kenapa mas?"

Spontan mataku sayu. Aku menunduk sejenak. Rambut berombak Billa seakan membelai pipiku. Memaksaku untuk mengingat tegur sapa pertama kami.

Cerita untuk Mereka yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang