Chapter 3

127 45 2
                                    

"Yang sulit itu bukan mendekati. Tapi, menjaga komitmen." Aisy.

###

Konser yang dibilang kecil-kecilan itu banyak penontonnya. Aisy heran dari mana datangnya kerumunan orang kurang kerjaan itu. Menurut Aisy, daripada waktu dan uang dihabiskan untuk nonton konser seperti ini. Lebih baik disedekahkan atau disimpan untuk keperluan mendatang. Toh, lebih bermanfaat. Aisy tidak suka berada diantara kerumunan orang itu. Dia memutuskan untuk duduk di kursi dekat panggung. Aisy membuka line siapa tahu ada yang nge-chat. Salah. Tidak ada satupun orang dari kontaknya yang nge-chat. Akhirnya, Aisy hanya menscroll story orang.

Konser itu menyuguhkan banyak kegiatan. Ada bazar, pembagian doorprice, Q & A untuk para personel band itu. Aisy menghiraukan semua itu dan tetap asyik dengan ponselnya sampai di akhir acara.

"Untuk mengikhiri acara pada malam hari ini. Marilah kita saksikan penampilan dari band kesayangan kita, Kuadras Band," kata MC.

5 menit kemudian. Kerumunan itu menghilang dengan sendirinya tanpa aba-aba. Sesekali Aisy melihat alun-alun itu yang perlahan mulai sepi. Panggungnya pun sudah sepi. Ada beberapa orang yang menarik kabel dan membersihkan kotoran di sekitar area panggung. Di sudut kanan panggung, Dhomas sedang asyik berbicara dengan personel band itu. Aisy tidak bisa melihat dengan jelas wajah mereka karena pencahayaan yang kurang terang.

"Keren banget penampilan lo semua," Puji Dhomas.

"Thanks ya, Mas," Kata cowok yang memakai topi koboi.

"Gue mau kenalin lo semua sama adik kesayangan gue. Dia satu sekolah sama kalian."

"Siapa namanya?" kata cewek berkuncir.

"Aisy," Katanya seraya menunjuk ke arah Aisy. Tanpa menunggu waktu lama semua pasang mata memandangnya.

"Gue nggak pernah lihat cewek itu," Kata cowok yang lain.

"Tapi, mukanya tidak asing." Kata cewek berkuncir itu lagi.

"Adik gue emang kalau di sekolahan nggak terkenal. Jadi, lo semua nggak usah pikirin."

"Bukan adik lo yang nggak terkenal. Tapi, kita yang nggak kenal."

"Bentar, ya. Gue panggil dia dulu."

Dhomas menghampiri Aisy yang masih duduk di tempatnya dan mengajak Aisy menemui taman-temannya. Sebisa mungkin Aisy mencoba tersenyum di hadapan teman-teman Dhomas. Aisy hanya diam sampai Dhomas memperkenalkan satu per satu temannya.

"Ini Panji," Kata Dhomas seraya menunjuk cowok yang memakai topi koboi, "Ini Sena," Cowok berjambul, "Ini Aldo," Cowok satu ini lumayan keren dengan bulu mata tebal dan kumis tipis, "Dan ini vokalis cewek kita, Ecca," Cewek berkuncir.

"Adik lo cantik juga, ya," Goda Panji, sang vokalis Kuadras Band.

"Kelas berapa, Neng?" Sena ikut-ikutan nimbruk.

"Kelas XI IPS 2."

"Hei..." teriak seorang dari belakang mereka. Sontak semua menatap ke sumber suara. Seorang cewek yang baru dilihat Aisy tadi siang. Apa yang dilakukan cewek itu disini? Apa mereka semua mengenalnya? Disini hanya Aisy yang tidak tahu apapun. Itu hanya ada dipikirannya. Eh... tunggu dulu. Di belakang cewek itu ada seorang cowok yang sudah beberapa hari ini dicarinya. Apa yang mereka berdua lakukan disini? Hanya Aisy yang merasa bego disini.

"Mas, sorry, ya. Lo pasti udah lama nungguin gue."

"Nggak juga. Kenalin, nih adik gue. Aisy." Kata Dhomas seraya meluk Aisy.

"Hei, gue Mira." Cewek yang menyebut dirinya Mira itu tersenyum ramah pada Aisy.

Aisy menjabat tangan lembut Mira dan berkata 'Aisy'. Dari dekat cewek itu makin cantik. Aisy jadi iri atau takut kasih sayang kakaknya terbagi. Entahlah. Aisy menatap cowok yang ingin sekali dia tahu namanya. Cowok itu diam tanpa sedikitpun menatap wajah Aisy.

"Aisy, lo udah kenal dia apa belum?" kata Dhomas sesaat membuyarkan lamunannya. Dhomas menunjuk cowok yang berdiri di samping Mira.

Gimana mau kenal kalau nyebut nama aja nggak pernah, Batin Aisy.

Aisy menggelengkan kepala. Semua heran menatapnya.

"Ini Sandi. Pendiri band ini sekaligus gitaris band ini," Dhomas menepuk pundak cowok yang dipanggilnya Sandi.

"Dia yang paling terkenal sekolahan dan sering mengikuti olimpiade geografi dan menang tentunya," Sena cengengesan.

"Lo nggak kenal satupun dari kita gak pa-pa. Tapi, beneran lo nggak kenal Sandi?" Panji ingin memastikan kalau Aisy benar-benar tidak berbohong dengan ucapannya. Lagi-lagi Aisy hanya menggeleng.

"Entar lo pulang bareng Sandi, ya. Gue masih ada urusan sama Mira," Kata Dhomas seraya berbisik.

"Kakak mau tinggalin Aisy dengan orang asing," Aisy kesal.

"Tenang aja. Dia nggak bakal ngapa-ngapain lo kok. Paling lo bakal dapet semburan pedas dari mulut berbisanya," Kata Aldo seraya tertawa dan dibarengi yang lainnya.

Sandi yang menjadi bahan tertawaan hanya diam. Dia tahu teman-temannya hanya bercanda. Hidup ini tidak perlu dibuat kaku. Setel kendo aja seperti lagunya Via Vallen. Dhomas jalan bareng Mira. Panji, Aldo, Sena, dan Ecca pulang satu mobil. Sedangkan, Aisy pulang bareng Sandi naik motor ninja milik Sandi. Motor ninja warna biru tua tampak begitu mengkilap. Tanpa ada satu goresan sedikitpun. Aisy berjalan di belakang Sandi. Dia mengamati punggung cowok itu dan tubuh bidangnya yang tegap.

"Lo mau naik atau gue suruh pulang sendiri." Sandi memperlihatkan tatapan mautnya.

Cepat-cepat dia naik sebelum Sandi melemparinya dengan kalimat-kalimat pedasnya. Sandi menghidupkan mesin motornya dan satu detik kemudian motor yang dikendarainya melesat dengan kecepatan maksimal. Aisy yang duduk di jok belakang memegang perut Sandi dan memejamkan mata. Dalam hati dia berdoa semoga sampai di rumah dengan selamat. Diam-diam Sandi melihat Aisy melalui kaca spion motor. Melihat Aisy yang ketakutan, Sandi pun mengurangi kecepatannya menjadi normal. Sandi merasakan udara dingin masuk melalui pori-pori kulitnya.

"Lo nggak kedinginan," Suara Sandi terdengar lirih hingga Aisy tidak bisa mendengarnya, "Lo nggak kedinginan," Ulangnya lagi dan agak lebih keras.

"Nggak, kak."

"Lo jangan bohong," Sandi menepikan motornya dan melepas jaket kulit yang dikenakannya dan memberikannya kepada Aisy, "Lo pakai jaket gue aja biar nggak kedinginan."

"Gak usah, kak. Nanti kalau kakak kedinginan gimana?" Aisy menolak.

"Lo gak usah pikirin gue," Sandi menyerahkan jaket kulit itu kepada Aisy, "Cepet pakai."

Akhirnya, Aisy mengalah dan memilih memakai jaket itu. Bau parfum Sandi tercium sangat harum. Bau parfum yang sama seperti milik Dhomas. Mungkin semua laki-laki punya selera yang sama. Yang dilakukan Aisy selama di perjalanan hanya mencium bau parfum Sandi yang kini melekat di tubuhnya. Aisy mulai menguap dan matanya tinggal 10 watt. Tanpa disadari matanya memejam dengan sendirinya. Ikatan tangan Aisy di perut Sandi mulai meregang. Sandi melihat Aisy melalui kaca spion motor dan melihat Aisy tertidur pulas. Sandi pun memegang tangan Aisy agar tidak terlepas dari perutnya. Dia bersyukur malam ini tidak banyak kendaraan yang melintasi. Jadi, Sandi bisa perlahan-lahan mengendarai sepeda motornya tanpa diganggu oleh pengendara lain.

Perjalanan ke rumah Aisy hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Sandi sudah sampai di depan rumah tembok besar berwarna abu-abu dengan berbagai macam tanaman di halamannya. Aisy masih tertidur pulas dan Sandi tidak tega ingin membangunkannya. Terpaksa Sandi harus membopong Aisy masuk ke dalam rumahnya.

***

Pembelajaran di dalam ruangan memang ada kalanya riuh dan ada kalanya tenang. Seperti yang terjadi saat ini. Kelas yang biasanya ramai menjadi hening. Mereka sibuk mempersiapkan ujian nasional yang akan segera menghampiri mereka. Bukan hal yang harus ditakuti, bukan? Setiap akhir jenjang pendidikan pasti ada ujian nasional. Kenapa harus takut? Yang perlu dilakukan hanyalah mempersiapkan diri, mental, dan fisik tentunya.

"Sebelum Ibu akhiri pembelajaran pada hari ini. Ada yang mau bertanya," Bu Galih membereskan buku-buku di hadapannya.

Bu Galih adalah guru Bahasa Indonesia sekaligus wali kelas kelas XII IPS 1. Tika, sang bendahara kelas maju ke depan sambil membawa buku pencatatan arus kas.

"Bu, rencananya setalah acara wisuda kita akan mengadakan bazar dengan uang kas. Menurut Ibu bagaimana?" kata Tika.

"Bagus. Ibu mendukung apa yang ingin kalian lakukan," Bu Galih membuka buku pencatatan arus kas itu dan melihat nominal yang tercantum di dalamnya. Cukup banyak.

"Kalian rajin bayar kas, ya," Kata Bu Galih seraya tersenyum.

"Mau gimana lagi, bu. Kalau tidak bayar dapat hukuman," Kata seorang cewek yang duduk di baris paling belakang.

"Telat sedikit denda, tidak piket denda, tidak bawa buku paket denda. Gimana tidak kaya coba," Tambah yang lain.

"Siapa lagi yang dapat ngelakuinnya selain sang dewa penghukum, Sani."

"Ha... ha... ha..." seisi kelas tertawa.

Yang menjadi bahan pembicaraan sekaligus bahan tertawaan hanya cemberut. By the Way, Sani itu panggilan kesayangan buat Sandi. Tapi, dia selalu marah saat dipanggil dengan nama itu. Masih ingat cerita tentang Dewa Sani, putra Dewa Surya yang selalu menghukum semua orang sesuai dengan perbuatannya. Seperti itulah teman-teman Sandi menyebutkannya.

"Lihat tuh, makannya lo kurangi gih amarah lo. Nggak baik tahu. Entar lo darah tinggi baru rasa," Sena yang duduk di samping Sandi menyenggol lengan Sandi.

"Berisik," Sandi memasang tatapan mautnya. Tapi, hal itu tidak berpengaruh pada Sena. Sudah kebal katanya.

"Dasar keras kepala."

Lain halnya dengan kelasnya Aisy yang selalu ramai meskipun ada gurunya atau tidak. Beda kelas beda suasana. Jam pelajaran telah berganti 15 menit yang lalu. Guru yang mengajar pada jam 3-4 tidak masuk. Sakit katanya. Seperti biasanya, jika jam pelajaran kosong, murid-murid suka membuat kegaduhan di kelas. Terkadang ada juga yang bermain PUBG melalui ponselnya. Itu hanya dilakukan oleh kaum Adam. Katanya ingin sekedar menghibur diri.

Aisy duduk termenung menatap ke luar jendela. Aisy bersyukur jendelanya tidak tinggi sehingga dia bisa melihat dengan jelas keadaan di luar kelasnya. Kelasnya menghadap lapangan. Dia melihat Sandi berolahraga bersama teman sekelasnya. Benar. Ini jam olahraganya. Sandi tampak keren dengan balutan seragam olahraganya. Aisy menghiraukan keadaan kelasnya yang gaduh. Yang ingin dia lakukan hanyalah menatap wajah Sandi yang tampak memesona. Keringat yang mengalir di pelipisnya membuat Aisy ingin mengusapnya.

"Pesonamu...." Aisy tidak menyadari kalau Metha memperhatikannya. Sontak Aisy menatap ke arah sumber suara. "Lo lagi ngelamunin apa sih?"

"Gue Cuma berpikir. Kok bisa gue temenan sama cewek super kepo kayak lo," Metha mencubit perut Aisy hingga dia merintih kesakitan.

"Kalau lo ngomong kayak gitu lagi entah gue sentil lambung lo."

Metha memang tidak suka kalau dikatakan ratu kepo atau hal-hal yang berhubungan dengan kata kepo. Meskipun aslinya dia memang memiliki rasa keingintahuan yang cukup tinggi bahkan sangat tinggi.

"Lo kan ratu kepo sejagad."

"Beneran gue sentil, nih," Metha mempersiapkan diri untuk menyentil Aisy. Dan Aisy mempersiapkan diri untuk...

"KABUR..."

Aisy lompat ke atas meja dan berlari menjauh dari Metha. Sesampainya di luar pintu Aisy melihat Sandi dan yang tambah membuat Aisy terkejut Sandi juga melihat ke arah Aisy. Untuk kali ini Aisy tidak salah tangkap. Aisy tidak ingin kehilangan pemandangan seperti ini. Dia berhenti menatap Sandi meskipun hanya sesaat.

BRUK...


"Aduh..."

Aisy mengusap dahinya setelah dahinya mencium tiang bendera yang ada di hadapannya. Aisy menatap sekelilingnya, tidak banyak orang yang melihat peristiwa naas yang membuatnya malu seumur hidup, kecuali teman sekelas Sandi. Dari kejauhan Aisy bisa mendengar celetuk dan tawa teman-teman Sandi.

"Diam lo semua," Sandi menghentikan tawa teman-temannya. Dia tidak ingin Aisy merasa malu karena hal ini.

"Tuh, kan adiknya si Dhomas," Sandi hanya mengangguk menanggapi perkataan Sena.

Aisy tidak tahu lagi harus menyembunyikan wajahnya dimana. Dia juga tidak bisa membayangkan ekspresi wajahnya saat ini. Dia tersenyum kikuk di hadapan teman-teman Sandi.

"Lo nggak pa-pa?" Dia menatap cewek yang ada di hadapannya.

"Gue nggak pa-pa, Kak Mira," Aisy tersenyum ringan.

"Lo jangan panggil gue kak. Panggil gue Mira aja."

"Iya, kak... eh, maksudnya iya Mira," Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Entar pulang sekolah gue ke rumah lo, ya. Ada yang ingin gue bicarain sama kakak lo," Bisik Mira.

Mira berlalu meninggalkan Aisy. Aisy yang sudah menjadi bahan tontonan gratis akhirnya masuk ke dalam kelasnya. Sampai di ambang pintu dia melihat dua algojo berdiri dengan berkacak pinggang. Tatapannya tajam dan menohok. Dua algojo itu menarik lengan Aisy dan mendudukkannya di bangkunya.

"Lo kenal Kak Mira?" kata Metha. Sifat kepo Metha sudah akut dan mendarah daging. Dengan sekali melihat dia langsung penasaran.


Aisy mengangguk.

"Kok bisa?" timpa Hesty.

Aisy duduk lemas di bangkunya. "Dia teman kakak gue. Mereka join bisnis gitu."

"APA???" dua ratu kepo itu terkejut secara bersamaan.

Sekarang Aisy merasa terintimidasi oleh kedua sahabatnya. Kenapa heboh? Orang-orang yang berada di kelas menatap ketiga cewek itu. Lalu, mengacuhkannya lagi.

"Lo serius?" Aisy mengangguk lagi.

"Kak Mira itu the Princess of SMA Permata. Dan lo tahu siapa yang dapat gelar the Prince of SMA Permata?" Aisy menggelengkan kepala, "Kak Sandi. Dia teman sekelas Kak Mira. Mereka berdua sering dijuluki the Perfect Couple of SMA Permata. Lo gak tau itu juga."


Lagi-lagi Aisy menggelengkan kepala.

"Gue kecewa Kak Mira dan Kak Sandi gak pacaran. Padahal mereka cocok banget," Hesty duduk lemah di samping Aisy.

"Mungkin belum jodoh," Aisy mencoba menenangkan Hesty.

"Karena jodoh Kak Sandi itu gue," batinnya.

"Eh, tunggu. Kalau lo kenal Kak Mira berarti lo kenal Kak Sandi," Aisy mengerdikkan bahu lalu menurunkan kepalanya dan meletakkannya di atas meja. Dia memejamkan matanya.

"AISY..."

###




Akhirnya Chapter 3 ini selesai. Semoga Anda terhibur dengan cerita ini.


RENDEZVOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang