"Mencintaimu itu hakku. Membuatmu mencintaiku itu tugasku"
🐹🐹🐹
"Gue nggak tau lo suka debat."
"Iya, Kak. Gue tu dari dulu pengen banget masuk klub debat. Sampe rasanya pengen cepat-cepat masuk SMA, karena ekskul SMP nggak ada debat."
Atan mengangguk-angguk pelan sambil menyeruput jus sirsak miliknya. Di depannya Zeline duduk dengan wajah bahagia.
"Kak, gue denger-denger kakak pinter, ya, di kelas," tanya Zeline mengganti ekspresinya menjadi serius. "Eh, gue ralat, kakak pinter bukan cuma di kelas, di luar sekolah juga sama."
Atan tertawa sumbang mendengarnya. Pintar? Entahlah. Bagi Tiara ia masih belum pintar. Itu tandanya ia bodoh, 'kan?
"Maaf kalo gue terlalu kepo, Kak. Duh, jadi nggak enak," ujar Zeline. Atan hanya menanggapinya dengan senyum tipis.
Ia melirik jam di tangannya lalu berdiri, tak lupa mengambil ponselnya di atas meja.
"Gue balik dulu. Biar gue yang bayar semuanya. Lo bisa pulang sendirian, 'kan?"
Zeline memasang wajah kecewa walau hanya sesaat. Lalu, ia gantikan dengan senyuman lebar. Gadis dengan rambut terurai itu ikut berdiri dan berkata, "Gue bawa mobil sendiri, kok, Kak."
Atan mengangguk sekali lalu beranjak pergi dari sana. Zeline mengulum senyumnya senang. Tak menyangka keputusannya untuk masuk klub debat justru menguntungkan dirinya.
Bertemu cowok tampan dan pintar seperti Atan. Siapa yang tidak senang?
Ia bersenandung kecil tak sabar untuk hari esok.
🐹🐹🐹
Cahaya kamera menyilaukan mata sama sekali tidak menghambat gadis cantik itu untuk bekerja. Ia terus mengganti pose fotonya berulang kali.
Dengan wajahnya yang cantik sangat membantu ia menjadi seorang model.
"Oke! Selesai!" Sang fotografer berteriak, mengangkat satu jempolnya sambil melihat kembali hasil jepretan kameranya.
Adora menghela napas lega dan mulai berjalan menuju sofa. Gaun yang ia pakai terlalu panjang dan berat sampai ia harus dibantu oleh beberapa orang untuk mencapai sofa.
Siapa sangka Adora sang bad girl sekolah ternyata adalah seorang model? Ia tak pernah mengumbar pekerjaannya pada siapapun. Bahkan teman sekelasnya sekali pun. Karena Adora tak mempercayai mereka.
Hanya Alea satu-satunya orang yang tau pekerjaannya. Oh, ada seorang lagi. Selain itu, semuanya tersimpan rapi.
Adora menenggak habis sebotol air mineral di atas meja. Setelah itu segera bangkit menuju ruang rias, hendak mengganti bajunya.
"Adora mau balik!" teriaknya.
"Ganti baju dulu Adora! Jangan bawa balik baju gue lagi!"
Adora terkekeh keras. "Siap, Bos!"
Ia memanggil Diva, sang tata rias, untuk membantunya melepas gaun menyusahkan itu. Adora juga tak mau membawa gaun itu pulang. Ia sama sekali tidak bebas bergerak menggunakan gaun itu.
"Bos udah balik belum?" tanyanya pada Diva.
"Udah, Ra."
"Padahal Adora mau izin besok nggak masuk," gumam Adora. "Yaudah, deh, nanti Adora telepon aja," tambahnya.
Kemudian, ia bergerak cepat menuju pelataran parkir. Berulang kali pula ia melirik jam di tangannya. Berharap ia tidak terlambat sedetik pun.
Di tengah perjalanan pun Adora masih melihat jam tangan ber-merk guess di tangannya. Jarum jam menunjuk ke angka empat.
Dua puluh menit lagi. Kalau tidak ia akan terlambat. Adora meloncat dari mobil sesampainya ia di rumah.
"Bu En, mama sama papa udah pulang belum?" Gadis itu bertanya panik ketika melihat Bu En sedang duduk di kursi dapur sambil memegang ponselnya.
"Belum, kok. Udah, kamu masuk aja ke kamar, langsung mandi terus istirahat. Bekal tadi udah di makan, 'kan?"
Adora mengangguk. Mencium pipi Bu En lalu berlari kecil menuju kamarnya.
Beruntung ia tidak terlambat pulang ke rumah. Jika saja terlambat, mungkin akan terjadi perang di rumahnya.
🐹🐹🐹
"Atan! Mama pulang!"
Atan yang sedang menggulir layar ponselnya tersentak kaget mendengar suara Tiara di lantai bawah. Dalam sekali loncatan ia turun dari tempat tidur dan menyimpan ponselnya dalam lemari.
"Kunci perpustakaannya mana ini," resahnya. Cowok itu mencari kunci kecil itu di semua tempat sampai membuat isi lacinya berantakan.
"Atan, kamu di dalam?" Tiara mengetuk pintu kamar Atan berulang kali. Beruntung saja Atan mengunci kamarnya tadi.
Saat menemukan kunci itu ia pun segera beranjak menuju perpustakaan pribadinya dan mengeluarkan setumpuk buku dari dalam sana.
Setelah itu menyusun sedemikian rupa di meja belajarnya, seakan ia memang sedang belajar.
"Atan! Kenapa pintunya dikunci?" suara Tiara semakin menggema di sana. Tanpa sadar Atan mendengus kesal seraya memutar kunci kamarnya.
Dengan senyum yang dipaksa Atan menyapa Tiara.
"Mama udah balik?"
Tanpa menjawab sapaan Atan, wanita itu menerobos masuk dan langsung menuju arah meja belajar milik Atan. "Kamu kok kunci pintunya? Tumben banget," ujarnya sembari memeriksa semua buku di atas meja.
"Iya ma, Atan cuma takut ada yang ganggu waktu belajar," jawab Atan dengan jantung berdetak cepat. Perasaan cemas menghampirinya, takut Tiara curiga padanya.
"Komik?" Tiara mengangkat satu buku, menunjukkannya pada Atan. Oh tidak. Pasti ia salah mengambil komik itu tadi karena terburu-buru.
"Udah berapa kali mama bilang jangan terlalu sering baca komik?" Raut wajah Tiara mulai berubah. Wanita itu mendekati Atan yang semakin cemas.
"Atan jawab mama." Dengan aura yang mengintimidasi Tiara memaksa Atan untuk menjawab pertanyaannya.
"Maaf, ma."
Pada akhirnya hanya kata itu yang bisa Atan ucapkan. Memangnya apalagi yang ia harap? Ia tidak mau Tiara membatasi waktunya untuk keluar rumah. Cukup wanita itu melarangnya membaca komik saja.
Tiara menghela napas keras.
"Ini mama sita. Nanti mama balik lagi dan ambil semua komik kamu sebelum nilai kamu anjlok."
Tiara mencium kening Atan sambil berlalu. "Mama mau istirahat dulu sekarang."
"Iya, ma."
Atan menghempaskan tubuhnya di kasur. Memijit kepalanya yang seakan mau meledak. Cowok itu semakin lelah dengan semua tekanan dari Tiara.
Ia hanya butuh sedikit bernapas.
🐹🐹🐹
Naf
Aceh, 25 Oktober 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Secret Admirer
Novela JuvenilJudul sebelumnya Adora & Atan [TERBIT SEKALI DALAM SEMINGGU] Ini bukan kisah manis seperti milik Dylan dan Milea. Bukan cerita terbaik layaknya Nathan dan Salma. Tapi, ini kisahku. Adora Dominica dan Atan Ridmelo N. Jujur saja, bahkan sampai sekaran...