Prolog (Aurora)

197 3 1
                                    

SUASANA ruangan itu sangat menakutkan.

Aku tak dapat mengetahui apakah saat ini siang atau malam. Begitu gelap. Hal terakhir kuingat tidur nyaman di kamar. Namun bau pengap dan amis bercampur, membangunkanku. Tangan bebas bergerak bukan berarti aku bisa melarikan diri. Kedua kakiku terpasung. Berulangkali berusaha membuka gembok di bagian samping pasung, hal ini kuketahui saat merabanya. Air mata terus mengalir. Bukan disebabkan luka perih di kaki melainkan rasa takut.

Suara teriakan minta tolong sama sekali tidak membantu. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki, dan bunyi kunci. Seketika aku menutup mulut. Aku mengenali pemilik hak tinggi merah tersebut. Ia adalah ibu tiriku, Christina. Wajahnya tanpa ekspresi terlihat jelas saat ia menghidupkan lampu.

Tubuhku bergetar hebat saat ia menghampiri. Apalagi kilatan cahaya dari pantulan pisau menunjukkan betapa lemahnya diriku. Mengiba pun takkan berhasil.

"Kamu memang harus dilenyapkan".

Aku bisa merasakan keyakinan tiap kata terucap. Ia mengangkat pisau tanpa ragu. Refleks aku berteriak. Memejamkan mata. Terakhir kulihat ia menerjangku.

"Mengapa kamu berteriak?".

Steven terkejut. Dapat kurasakan baju tidurku basah dengan keringat. Sadar peran dalam dunia nyata membuatku cepat merubah ekspresi.

"Steven... Apakah kau merindukanku?" tanyaku riang, "Kamu harus menahannya kan besok kita akan menikah".

"Jangan berharap" sahutnya dingin, "Saat melihat lampu kamarmu menyala kukira kau belum tidur. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu".

"Jangan-jangan.?" godaku sambil menaikturunkan alis.

"Belum terlambat untuk mengakhiri ini" tegas Steven penuh penekanan.

"Aaaaa" aku menepuk kedua telinga, "Gak denger... Gak denger".

Dia melipat kedua tangan di depan dada. Menunggu jawaban.

"Pernikahan ini aku menginginkannya" jawabku penuh keyakinan, "Mungkin ini terdengar seperti membual, tapi sejak malam itu aku mencintaimu".

Kartu truf yang selalu sukses membungkamnya. Ia sangat membenci malam itu. Wajah Steven terlihat kecewa dan marah bersamaan. Dengan langkah cepat ia berjalan menuju pintu. Mataku tak lepas memperhatikan tingkahnya.

"Aurora" panggil pria bermata cokelat. Mata kami bertemu lagi saat ia menoleh.

"Aku yakin setelah malam ini" kata Steven yakin sebelum memutar gagang pintu, "Kamu akan menyesal".

Terdengar bunyi keras pria dengan tinggi 182cm itu membanting pintu.

"Aku tidak akan menyesal" bisikku yakin, "Tetaplah seperti itu. Biarkan rasa benci itu tumbuh dalam hatimu karena rasa ini palsu".

The Revenge GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang