Aurora menyisir rambut sambil memastikan dandanannya sudah rapi. Steven sibuk membenahi dasi. Sesekali Aurora melirik suaminya. Menunggu Steven bersuara, sama saja dengan menunggu ayam melahirkan. Tidak mungkin. Aurora harus mengambil inisiatif.
"Kamu sibuk hari ini?" tanya Aurora basa-basi sambil mengamati Steven melalui cermin.
"Aku bukan pengangguran" jawab Steven tanpa menatap Aurora.
"Bukankah kita di sini untuk..." Aurora berhenti sejenak berusaha memilih kata yang tepat, "Liburan".
"Aku sama sekali tidak tertarik" kata Steven sebelum mengambil tas.
Tanpa berpamitan. Steven pergi dari kamar. Meninggalkan Aurora lagi.
Mereka berdua mendapatkan hadiah bulan madu dari Hendri. Tentu saja Steven menolak dengan sejuta alasan. Hingga ia enggan melanjutkan sarapan. Malvin turut membujuk namun hasilnya nihil. Saat mendengar Hendri mengatakan bahwa Steven bisa bulan madu sambil menyelesaikan proyek di Bali. Langsung saja pria itu berubah pikiran.
Aurora dapat melihat tatapan semangat dari papa mertuanya itu. Agar ia berusaha memberikan cucu. Aurora harus mengakui hidup bersama dengan keluarga Wardoyo, tidak buruk. Namun sekamar dengan Steven adalah hal yang terburuk.
"Baiklah. Aku akan menikmati liburan ini sendirian" kata Aurora pada bayangannya di cermin.
Seperti orang Indonesia kebanyakan. Kemana pun pergi liburan, selalu tidak lupa membelikan oleh-oleh. Aurora membeli banyak gantungan kunci, kalung dan gelang khas Bali, untuk anak-anak panti asuhan. Membayangkan wajah riang mereka, membuat Aurora bahagia.
Aurora membeli tas terbuat dari anyaman untuk Mila dan Bu Endang. Ia tak yakin, apakah Mila akan senang menerimanya. Mengingat pertemuan terakhir mereka tidak cukup baik. Aurora berharap Mila akan memahami, seperti yang selalu dilakukan kepadanya.
Lelah berbelanja oleh-oleh dan wisata kuliner. Aurora memilih menikmati keindahan pantai Kuta untuk melepaskan penat. Pemandangan orang berjemur, berenang dan berselancar. Membuatnya terhibur.
Aurora menatap iri pada beberapa pasangan yang memamerkan kemesraan. Ia selalu membayangkan dapat menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Terlambat. Hanya kata itu yang menggambarkan keadaannya saat ini.
"Sebenarnya aku sudah lama menyukai Steven. Aku sengaja mengikutinya ke sini. Saat mengetahui dirinya sedang sendiri, aku berusaha memberanikan diri untuk berkenalan. Aku sama sekali tidak menyangka saat itu dia sedang mabuk. Kejadian itu sungguh di luar dugaan".
Aurora mengenang awal kebohongannya. Pengakuan palsu di hadapan Steven dan yang lain. Ia tidak bisa menahan tangis saat berbohong. Hatinya sangat sakit karena tega berbuat jahat. Terutama pada pria yang sama sekali belum dikenalnya.
Sebuah kebohongan selalu melahirkan kebohongan baru. Ia berpura-pura mengenal Steven saat masih kecil. Bahkan ia harus mengaku rela terbang dari Sidney, hanya untuk melihat pria pujaannya. Sungguh kebohongan yang mengerikan dan menjijikkan.
Tak heran jika Steven sangat membencinya. Hingga saat ini mereka tidak pernah tidur di ranjang yang sama. Steven selalu memilih tidur di sofa. Percakapan di antara mereka pun tak pernah terjadi, jika Aurora tak memulai.
"Sendirian?" tanya gadis berambut merah berdiri di depan Aurora.
Aurora mengangguk.
"Boleh duduk di sini?" tanya gadis itu ragu-ragu.
"Boleh" Aurora mempersilakan.
"Perkenalkan Joy, Kamu?" tanya gadis itu sambil menikmati es kelapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Revenge Game
Romance"Aku tidak akan menyesal" bisikku yakin, "Tetaplah seperti itu. Biarkan benci tumbuh dalam hatimu karena rasa ini palsu". Kehidupan Aurora terusik sejak Malvin mengetahui rahasianya. Pria itu mengetahui Aurora adalah pewaris perusahaan M&T yang terb...