PERTEMUAN

42 2 1
                                    

Aurora menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi, ia mengambil kaca dari tas. Harus tampil cantik sempurna. Hal yang lebih penting adalah ia harus tampak kuat. Wanita itu segera keluar dari mobil. Ia berjalan tegap memasuki toko es krim, favorit keluarganya.

"Kamu tidak telat, hanya aku saja datang lebih awal" kata Christina sambil membaca majalah fashion saat Aurora menghampiri.

Aurora berdiri kaku, mendengar suara Christina. Ia meruntuki kebodohannya sendiri. Jika ia belum kuat bertemu Christina, tidak seharusnya ia menerima ajakan wanita ular berbisa ini.

"Kita memang sudah lama tidak bertemu tapi bukan berarti kamu melupakan untuk mencium tangan ibumu ini" kata Christina mengingatkan Aurora, dimana mereka berada.

Aurora menuruti perintah Christina dengan setengah hati. Ia berjanji akan segera mandi besar setelah pertemuan ini berakhir. Senyum palsu pun terpaksa ditunjukkan. Mereka harus bersikap selayaknya ibu dan anak. Banyak pasang mata yang memperhatikan.

"Aku sudah memesan es krim favoritmu" kata Christina menutup majalahnya.

"Terimakasih, Ma" Aurora pura-pura bersyukur, "Tapi maaf sepertinya aku tidak akan bisa menghabiskannya. Hari ini ada rapat penting".

"Tidak apa-apa" Christina bersikap ramah, "Kamu harus menjaga kesehatan. Lihat setelah menikah badanmu tambah kurus".

"Sialan" teriak Aurora dalam hati, "Tidak kok ma, berat badanku tidak menyusut sama sekali".

"Benarkah?" Christina berhenti sejenak saat pelayan meletakkan pesanannya.

Es krim rasa vanilla strawberry, favorit Aurora tersaji di hadapannya, sementara secangkir teh hijau akan dinikmati Christina. Asap mengepul dari cangkir putih. Wanita paruh baya itu terlihat menghirup aroma minuman tersebut.

"Terimakasih" kata Aurora dan Christina hampir bersamaan.

Pelayan itu tersenyum, kemudian menanyakan hal lain yang dibutuhkan. Ia kembali setelah mendapatkan jawaban tidak dari keduanya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Aurora berbisik berpura-pura menikmati es krim.

Christina tersenyum. Ingin rasanya Aurora merobek bibir ibu tirinya. Wanita itu dari dulu selalu memasang topeng. Wajah malaikat hanya kamuflase menutupi sifat iblis yang dimiliki.

Aurora mengingat masa-masa mereka hidup bersama. Aurora kecil tidak pernah marah memiliki ibu tiri saat kuburan bunda masih merah. Ia menyambut dengan tangan terbuka di pertemuan pertama mereka. Bahkan ia menunjukkan rasa senangnya mendapatkan adik kembar yang sama sekali tidak mirip. Suasana tenang di kediamannya berubah hiruk-pikuk sejak kehadiran si kembar, Evan dan Ethan.

Christina tidak pernah berubah. Ia sama sekali tidak pernah berusaha baik di depan anak tirinya. Bahkan terang-terangan membedakan antara Aurora dengan anak kandungnya.

Aurora sangat ingat ia kerap nangis di kamar karena sedih mendapatkan perlakuan buruk dari Christina. Ia tidak pernah mengadu sikap Christina ke Haryanto. Aurora selalu berusaha menjadi gadis manis di depan Christina. Satu-satunya hal membahagiakan bagi Aurora adalah Ethan yang selalu menenangkan dan menghibur.

"Selamat bergabung dalam perusahaan keluarga kita" kata Christina meletakkan kembali cangkirnya.

Bunyi denting cangkir mengembalikan kesadaran Aurora.

"Aku senang bisa berkontribusi di perusahaan bunda" sahut Aurora.

Christina tertawa, "Bunda meninggalkan perusahaan sekarat untukmu, sementara Papa harus memeras otak mengembalikan kondisi".

"Membersihkan rumah yang kotor tidak sulit jika dibandingkan saat membangunnya" kata Aurora.

"Evan selalu mendukung keputusan Papa. Mama berharap kamu belajar banyak darinya" Christina menatap tajam namun senyum tak menghilang.

"Aku berharap bisa menjadi lebih baik darinya" kata Aurora penuh keyakinan.

"Merpati takkan bisa terbang jika tidak pernah belajar mengepakkan sayap".

Kata-kata itu sukses membungkam Aurora. Melihat lawannya tak bisa berkutik membuat Christina senang.

"Wah..." Aurora melihat arloji, "Maafkan aku harus pergi, sebentar lagi rapat akan dimulai".

Christina menggenggam tangan Aurora, "Apakah sampai sekarang kau belum berani menatap mataku?".

Aurora menelan ludah. Ia memang duduk berhadapan dengan Christina. Ia juga berani melihat wajah ibu tirinya. Namun ia menghindari mata yang selalu muncul dalam mimpi buruknya.

"Aku tidak perlu menjawab" Aurora menarik tangannya.

"Jangan pernah datang ke rumah karena aku tidak akan pernah membiarkannya" bisik Christina, "Jauhi anak-anakku karena aku sama sekali tidak menyukaimu".

Hati Aurora terpukul. Namun ia tidak terkejut jika kata-kata itu keluar dari mulut siluman ular ini.

"Aku pergi dulu ya, Ma" Aurora segera bangkit, tergesa-gesa seakan terlambat.

"Hati-hati ya, Nak" kata Christina sedikit berteriak.

Wanita itu tersenyum puas melihat kondisi Aurora. Sementara Aurora menangis sesenggukan di mobil. Sebuah pesan masuk, tanpa sengaja Aurora membukanya.

"Kak, ayo makan siang aku lapar".

Aurora memejamkan mata. Christina mungkin bisa berusaha menjauhkannya dari keluarga. Namun keluarga tetaplah keluarga. Ada ikatan yang terjalin kuat meski tak terlihat.

"Oke tapi temani aku terlebih dulu" Aurora kemudian menekan tombol kirim.

The Revenge GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang