HARYANTO

36 2 1
                                    

Haryanto tak menyangka hari ini akan datang. Ekspresi wibawa dan bijaksana tidak surut dari wajahnya. Kaki melangkah mantap menuju ruangan yang belum dimasuki pemiliknya. Suasana tenang seakan mengejek kekhawatirannya. Ia sengaja datang lebih awal dan tak terduga seperti ini. Tak ingin mendapatkan penolakan maupun bantahan atas keputusannya hari ini.

Seorang cleaning service masih sibuk membersihkan ruangan, langsung mengangguk hormat saat Haryanto memasuki ruangan. Ia hanya membalas tersenyum. Merasa tidak enak, cleaning service cepat-cepat menyelesaikan tugas.

"Saya sudah selesai pak, apakah ada yang dibutuhkan? Kopi?" tawar pria yang hampir seusia dengannya.

"Terimakasih" Haryanto duduk di kursi kerja, "Mungkin secangkir kopi panas dan segelas susu cokelat panas".

Meski merasa aneh dengan permintaan Haryanto, pria itu mengangguk patuh. Ia segera keluar saat selesai menawarkan kudapan.

"Apa kabar, sayang?" tanya Haryanto meletakkan tas di meja.

Haryanto menatap foto seorang wanita berusia 30an terbingkai di meja. Ia mengambil pigura tersebut. Matanya beralih saat pintu kembali terbuka. Sosok yang dinantikannya telah datang.

"Selamat pagi, sayang" sapa Haryanto.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Aurora dengan perasaan bercampur.

Aurora senang melihat orangtuanya datang. Perasaan bahagia yang tiba-tiba dirusak pikirannya. Tak mungkin seorang Haryanto mendatanginya tanpa maksud. Perasaan benci kembali merasuki.

Haryanto mengangkat tangannya, menyuruh Aurora untuk menunggu. Sesaat kemudian pria tua masuk, membawa nampan berisi secangkir kopi dan segelas susu cokelat. Tampak asap mengepul dari kedua minuman itu.

"Duduklah" perintah Haryanto setelah cleaning service keluar, "Hari ini aku datang sebagai orangtua bukan pemimpin perusahaan".

"Aku tidak yakin" sindir Aurora, namun menuruti untuk duduk berhadapan dengan ayahnya.

"Waktu kita tidak pernah tepat untuk bertemu" kata Haryanto sambil memandangi gambar wanita yang pernah menjadi istrinya.

"Bukan waktu tapi kamu" bantah Aurora.

"Ingat Aurora, aku adalah ayahmu" Haryanto menatap tajam, "Bicaralah dengan sopan".

"Ayah?" Aurora tertawa mengejek, "Apakah pantas orangtua yang menelantarkan anaknya berhak mendapatkan rasa hormat? Singkirkan tanganmu dari foto bunda".

Melihat amarah Aurora tersulut, membuat Haryanto menghela napas. Ia meletakkan benda kotak tersebut. Matanya terpejam sejenak. Terlalu jauh jurang masalah di antara mereka. Ia berdoa berharap pagi ini Aurora akan mengerti.

"Aku meminta susu cokelat panas kesukaanmu" kata Haryanto, "Dulu saat kamu kecil entah sedih atau marah, Bundamu akan membuatkan minuman ini untuk menenangkanmu".

"Segelas susu takkan mengubah apapun. Aku bukanlah anak kecil yang selalu tertipu" Aurora meletakkan gelas itu ke depan Haryanto.

"Benarkah? Apakah masalah kemarin tidak menyadarkannya?" Haryanto membahas masalah yang ditimbulkan Aurora kemarin.

"Aku ada urusan penting kemarin" kilah Aurora, "Hari ini semua akan selesai".

"Aku lupa bahwa aku pernah menyekolahkanmu untuk menjadi penerusku" sindir Pria berjenggot tersebut.

Aurora terdiam. Mereka berdua tahu yang sebenarnya.

"Bagaimana caranya? Kamu akan mengatakan sesuai permintaan orang-orang yang selama ini menyetirmu" tambah Haryanto lagi.

The Revenge GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang