HAMPA

39 2 1
                                    

Aurora membuka mata. Rasa haus membangunkannya. Sesaat kemudian ia kembali menangis. Tersadar akan kenyataan pahit yang menimpanya.

Matanya berkeliling mencari sosok yang sangat dicintainya. Kata-kata pengusiran Steven kembali terngiang. Langit masih gelap namun tak mengurungkan niatnya untuk pergi. Lagipula ia enggan bertemu dengan penghuni rumah ini.

Tak lupa Aurora mengembalikan cincin dan kalung pemberian Steven. Ia merasa tidak berhak membawa hadiah dari suaminya. Aurora mencium kedua benda itu seolah mengucapkan kata perpisahan. Dua benda yang menjadi saksi perjalanan cinta mereka. Tanpa meninggalkan sepucuk surat atau kata-kata terakhir, Aurora keluar dari rumah itu.

Tanpa disadari Aurora dari balik jendela, Steven memperhatikan. Matanya tak lepas mengawasi langkah Aurora.

Steven dihadapkan pilihan sulit. Jika dahulu ia tetap memperjuangkan Vallery karena mengetahui Malvin tak menyukai Vallery. Kini ia mendapatkan Malvin, pertama kalinya menyukai seorang wanita. Namun mengapa wanita itu harus Aurora. Hatinya terluka melihat Aurora mengkhawatirkan Malvin. Steven mempercayai penjelasan Aurora, namun ia memilih melepaskan wanita itu demi sang adik

**

Ethan berjalan terburu-buru memasuki kantor. Ia bisa mudah melewati pengamanan karena semua orang mengetahui statusnya. Ethan segera menuju lantai teratas di gedung tersebut. Ia dengan mudah mengetahui ruangan yang dicari.

"Mohon maaf bapak sedang ada tamu dan tidak ingin diganggu" kata seorang wanita.

Ethan tidak peduli. Ia segera menerobos pintu. Matanya hanya tertuju pada satu orang, Steven. Tanpa basa-basi Ethan langsung menerjang kakak iparnya itu. Tangan kirinya mencengkeram kerah kemeja Steven.

"ETHAN, HENTIKAN".

Tangan Ethan yang terangkat di udara terasa kaku. Ia menoleh ke arah sumber suara. Matanya membulat sempurna. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Ethan curiga.

"Lepaskan" Steven menarik tangan Ethan.

"Aku tidak heran jika melihatmu melakukan hal rendahan seperti ini. Kamu selalu melakukan sesuatu tanpa dipikir" sindir Evan.

"Diam saja kamu itu tidak tahu apa-apa" kata Ethan penuh emosi.

"Aku juga mengkhawatirkan Kak Aurora".

Kata-kata Evan sukses membuat Ethan melongo. Ia tidak menyangka Evan menyebutkan nama Aurora. Sejenak ia berpikir mungkin harus ke dokter spesialis telinga, karena saat ini ia salah dengar.

"Tidak usah heran" Evan bisa membaca pikiran saudara kembarnya, "Bagaimana kita bicara sambil duduk dan menikmati suguhan".

Ethan melihat Evan dan Steven yang sedang duduk, bergantian. Ia merasakan ada sesuatu tidak beres. Namun otaknya tidak dapat menemukan kejanggalan.

"Ini adalah pertama kali kami bertemu. Jadi singkirkan prasangka burukmu" Evan menarik kursi di sampingnya, "Ayo duduk".

Seperti anjing yang mendapatkan perintah dari tuannya. Tanpa menyahut, Ethan segera menurut.

"Apa yang sedang terjadi?" tanya Evan tenang.

"Bukankah aku sudah bilang bahwa ini adalah masalah rumah tanggaku dan kalian tidak perlu tahu" elak Steven

"Satu bulan kalian tidak tinggal serumah, apakah itu wajar?" desak Evan.

"Kamu memata-mataiku?" Steven tidak terima.

"Wajar kami sebagai keluarga memperhatikan kondisi rumah tangga kalian" kata Evan tegas, "Kami harap wartawan tidak mengendus masalah ini".

"Saudaramulah yang memulai permasalahan ini. Aku dengar Haryanto Du dulu juga pernah berselingkuh, ternyata gen tidak pernah mengkhianati" kata Steven tidak terima dengan tuduhan Evan.

"APA MAKSUDMU?" teriak Ethan tidak terima.

Evan menepuk-nepuk pundak Ethan pelan berusaha menenangkan, "Apa kau punya bukti?".

"Tentu saja, aku memilikinya" Steven memberikan ponselnya kepada Evan.

"Apakah ini asli?" tanya Evan memperhatikan gambar yang ditampilkan, sementara Ethan mencondongkan tubuhnya ke Evan.

"Aku juga berharap tidak tapi Aurora membenarkan" kata Steven.

"Kakakku membenarkan gambar ini bukan hubungan mereka" sahut Ethan.

Steven mengabaikan Ethan. Ia menunggu respon Evan. Merasa diacuhkan Ethan menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Ethan benar. Kakak kami sangat mencintaimu".

Jawaban Evan membuat Ethan terkejut. Ethan tidak tahu apa yang lebih mengejutkan. Kenyataan Evan juga mengkhawatirkan Aurora atau saudara kembarnya ini mengetahui segalanya.

Steven memijat pelipisnya, "Malam itu aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia bermesraan dengan Malvin di kamar kami".

"Tentu saja kamu tidak akan semudah itu mempercayai alasan kakakku" kata Evan memahami, "Bagaimana dengan Malvin?".

"Iya mengakui menyukai Aurora sejak pertama kali bertemu" kata Steven, "Sangat sulit aku membenci saudaraku sendiri".

"Brengsek" umpat Ethan, "Dia sengaja menjebak Kak Aurora. Seharusnya dari kakak menuruti saran ku untuk menceraikanmu".

"Jangan khawatir" Steven kesal dengan sikap Ethan, "Kami dalam proses perceraian".

"Kak Aurora sekarang ada dimana?" tanya Evan mencegah Ethan memperkeruh suasana.

"Aku tidak tahu" Steven berusaha terdengar tidak peduli namun tatapan matanya terlihat kosong.

"Baiklah, kurasa urusan kita sudah selesai" kata Evan berdiri.

Ethan segera bangkit. Ia mengikuti tindakan saudara kembarnya. Instingnya mengatakan Evan telah mengetahui segalanya.

"Oh ya. Apakah kamu yakin melepaskan Kak Aurora untuk Malvin?" kata Evan saat tangannya memegang gagang pintu, "Aku berharap kamu kembali mempertimbangkannya. Saat penyesalan tiba, kau akan mendapatkan kehilangan bukan perpisahan".

Steven hanya diam. Pikirannya menerawang menembus pintu telah kembali tertutup. Seakan kejadian satu minggu lalu, sedang terjadi.

"Ternyata kamu orang yang benar-benar tak punya malu" sindir Steven saat Aurora masuk ke ruangan.

Mata Aurora terlihat bengkak namun ia berusaha tegar, "Steven, aku hanya ingin memberikan kado ulang tahun untukmu".

Aurora menghampiri Steven. Merasa tak dipersilakan duduk, wanita itu berdiri. Tangannya meraba-raba saku di mantelnya. Berusaha mencari hadiah yang telah dipersiapkan. Saat menemukan kotak hitam kecil, ia tersenyum lega. Aurora segera meletakkan benda itu ke meja Steven.

"Aku tidak butuh" Steven mengambil benda tersebut lalu membuangnya.

"Baiklah jika kau tidak ingin membukanya, Steven" Aurora berusaha tegar.

"Jangan pernah panggil namaku" kata pria penuh penekanan.

"Aku hamil" kata Aurora.

"Selamat" Steven memasang wajah datar.

"Steven, ini anak kita" rengek Aurora.

"Kau kira aku akan selalu mudah dibohongi" sindir Steven.

"Kau boleh menolakku tapi jangan anak kita" Aurora tidak terima.

"STOP MENGATAKAN DIA ADALAH ANAKKU" bentak Steven.

Aurora terkejut melihat suaminya tetap kekeuh tidak mengakui. Steven segera membuang muka saat Aurora mulai menitikkan air mata. Berulang kali Aurora tersandung saat menuju pintu. Ia ingin segera meninggalkan tempat tersebut.

"Terimakasih Steven. Aku sangat bahagia saat hamil anak ini. Aku akan berjanji membawanya sejauh mungkin darimu" kata Aurora sebelum menutup pintu.

Steven terdiam. Membiarkan Aurora pergi. Perasaannya gamang. Hampa.  Andai kejadian kemarin tidak terjadi. Mungkin ia akan menggendong dan memberikan sejuta kecupan di perut Aurora yang masih ramping. Namun kenyataan melihat ia terhianati membuat segalanya berantakan.

The Revenge GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang