EVAN

43 2 1
                                    

Aurora selesai menyiram tanaman. Ia tak langsung masuk ke rumah membantu menyiapkan makan malam. Menyiram tanaman adalah aktivitas menenangkan sekaligus menyenangkan baginya. Kini pekerjaan yang dulu digemari berubah melelahkan. Aurora duduk di bangku panjang yang biasanya dimanfaatkan anak-anak untuk berkumpul maupun belajar. Pikirannya melayang entah kemana, sambil mengelus-elus perut.

"Jika kamu berencana melarikan diri seharusnya kau tidak bersembunyi di sini kecuali di dalam hatimu sebenarnya menanti seseorang".

Suara itu mengejutkan Aurora. Ia menoleh mendapatkan Evan menghampiri. Aurora segera berlari menuju seseorang di belakang Evan, berjalan lambat-lambat. Ia memeluk erat Ethan.

"Aku sangat merindukanmu" kata Aurora menangis.

Ethan tersenyum. Ia menepuk pelan punggung Aurora. Berusaha menenangkan.

"Apakah kau hanya akan memelukku?" tanya Ethan, "Evan juga setengah mati mengkhawatirkanmu".

"Benarkah?’ tanya Aurora melepaskan diri dari dekapan Ethan.

Evan mendelik. Ia segera menghampiri saudaranya.

"Tentu saja" Ethan meyakinkan, "Dia bahkan menangis mencarimu saat tahu kau tiba-tiba menghilang. Aduh".

Evan memukul keras kepala Ethan.

"Benar. Aku mencarimu tapi bagian menangis itu hanya karangan anak gila ini" jelas Evan tak terima.

Aurora tertawa mengangguk kepada Evan.

"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Evan.

Aurora mengangguk, "Tentu".

"Si bajingan itu tentu akan menyesal karena telah menyakitimu" kata Ethan, "Jika tadi Evan tidak mencegahku pasti si kutu kupret itu sudah di rumah sakit sekarang".

"Kalian menemui Steven?" tanya Aurora keheranan.

"Tentu saja. Aku harus memukulnya" kata Ethan meyakinkan.

"Dia terlihat sangat berantakan" komentar Evan, "Sama halnya denganmu".

Aurora merasakan kerinduan perlahan menyusup. Seakan ada ruang kosong di hatinya yang telah ditinggalkan pemiliknya. Hampa. Menyakitkan.

"Bagaimana kalian menemukan tempat ini?" tanya Aurora penasaran, berusaha mengalihkan perhatian.

"Oh benar juga" Ethan baru menyadari, "Bagaimana bisa kamu tahu mengenai tempat ini".

"Aku telah mengenal tempat ini selama dia berada di sini" jelas Evan.

"Wow... Ayah benar-benar pilih kasih mengatakan segalanya padamu" sindir Ethan.

"Tidak. Ayah hanya berusaha adil" tampik Evan.

"Lihatlah dia selalu menyebalkan" adu Ethan ke Aurora, "Seolah-olah dia itu cowok keren".

"Sudah cukup" Aurora menggandeng lengan Ethan, "Aku rasa kalian berdua harus ikut makan sebelum pergi".

Ethan mengangguk senang, sementara Evan mengikuti dari belakang. Aurora tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia berkumpul dengan keluarganya.

Ethan menikmati makanan yang tersaji bersama penghuni panti. Bahkan ia dapat cepat berbaur dengan semua orang. Sementara Evan hanya diam sambil menikmati kopi. Ia menolak untuk makan, Aurora tidak memaksa. Ia hapal sifat Evan yang tidak bisa makan bersama dengan orang baru.

"Kamu harus makan banyak. Bayimu berhak mendapatkan makanan bukan kecemasan" celetukan Evan sukses membuat Aurora tersedak.

Ethan melongo mendengar perkataan Evan. Ia dan Aurora kompak menuntut penjelasan dari Evan. Mereka berdua berbarengan menatap pria yang kini melonggarkan dasinya. Suasana yang belum kondusif membuat mereka menunda untuk membahasnya.

The Revenge GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang