EPILOG

115 2 1
                                    

 Aurora mencabut rerumputan tumbuh di pekarangan belakang panti. Beberapa minggu ini, ia menyibukkan diri dengan mengisi halaman kosong itu dengan tanaman tomat dan cabai. Tidak ada seorangpun yang mendukungnya. Ini adalah percobaan kedua. Sebelumnya ia mencoba menanam sayur terong berakhir gagal. Tubuh Aurora kotor terkena tanah sementara anak-anak asyik bermain lompat tali. Aurora mendengus, melihat tidak ada yang berkenan membantu. Mereka tidak ingin capek membantu mengingat kemampuan berkebun Aurora.

“Awas saja, kalo tanaman ini berbuah” ancam Aurora.

“Udah hidup aja syukur kak” sahut Aji jahil disambut tawa lainnya.

“Lihat saja nanti” kata Aurora ketus.

“Sudahlah, Aurora” seru Bu Endang, “Sebaiknya kamu mandi, sebentar Amir akan datang”.

Aurora segera membersihkan diri. Mereka akan belanja kain untuk kebutuhan konveksi yang baru saja mereka rintis. Usaha ini digagas oleh Emi, salah satu anak panti yang telah lulus SMK. Emi dapat menjahit dan pintar memadukan warna. Apalagi Bu Endang juga memiliki keahlian serupa, membuat Emi mantap menjalankan usaha ini. Melihat tekad keras Emi, membuat Aurora berani meminjam modal pada keluarganya.

“Menurut kakak apakah nanti Cici Eli akan memberikan diskon?” tanya Emi sambil mencari model pakaian terbaru di Internet.

“Kamu tahu sendiri wanita sipit itu sangat terperinci mencatat segala sesuatu” jawab Aurora menggosokkan rambutnya basah dengan handuk.

Emi menonyongkan bibir, merasa kecewa.

“Sudahlah” Aurora  menyenggol bahu Emi, “Kan hanya di sana memiliki semua jenis warna dan bahan yang sesuai dengan keinginanmu”.

“Kak… kak” panggil Lely menghampiri mereka, “Ada tamu”.

“Bilang sama Kang Amir buat tunggu sebentar” kata Aurora.

“Bukan Kang Amir tapi dia nyariin Kak Aurora” jawab Lely.

“Emangnya siapa?” Aurora mengernyit.

“Aku lupa nanya namanya” jawab Lely jujur.

Emi dan Aurora tertawa.

“Samperin aja, Kak” saran Emi, “Siapa tahu penting”.

Aurora meletakkan handuk ke gantungan baju. Ia segera berjalan ke ruang tamu. Hatinya berdegup kencang. Melihat Steven berdiri membelakanginya. Nalurinya berkata untuk mendekap erat, namun ia memilih menahannya.

“Hai, Bagaimana kamu tahu tempat ini?” sesaat kemudian Aurora menyesal menanyakannya.

“Aurora” panggil Steven memutar tubuhnya.

“Tunggu sebentar” kata Aurora, “ Silahkan duduk”

Aurora bergegas masuk ke kamar. Ia mengambil map hijau dari almari.

“Kamu datang untuk mengambil ini?” tanya Aurora berusaha tegar saat menghampiri Steven.

Pria itu menoleh, “Apa itu?”.

“Surat perceraian kita” jawab Aurora setenang mungkin.

“Jika kamu memang menginginkannya seharusnya sejak tahun lalu surat ini sudah kamu berikan” kata Steven merasa tak masuk akal.

“Emangnya kamu pikir hanya kamu aja yang punya kesibukan. Aku juga sibuk” Aurora beralasan.

Steven mengangguk percaya. Ia mengambil surat dari tangan Aurora, lalu merobeknya dan membuang sembarangan.

“Robek aja” Aurora berusaha tidak terpancing, “Mesin cetak di rumah tidak rusak, jadi aku bisa mencetak ulang dan menandatanganinya”.

“Neng Aurora” panggil Amir cempreng.

“Aku harus pergi” kata Aurora.

Emi dan Bu Endang keluar, saat Aurora akan beranjak dari kursi.

“Wah… Akang udah datang” sahut Emi, “Mari Kang kita berangkat”.

“Neng Aurora ikut?” tanya Amir melihat ke arah Steven.

“Aurora sedang ada tamu” jawab Bu Endang mencegah Aurora menjawab. “Ayo kita harus berangkat sekarang, kalau telat bisa-bisa nanti pulang kemalaman”.

Emi dan Bu Endang kompak menarik lengan Amir yang tampak enggan pergi. Mereka sangat tahu Amir menaruh hati pada Aurora. Tak lama kemudian terdengar suara mobil pick up melaju.

“Aurora, aku tahu kamu masih sangat mencintaiku” kata Steven.

“Jangan terlalu percaya diri. Saat ini aku sedang dekat dengan seseorang” Aurora menampik sangkaan Steven.

“Apakah pemuda tadi?” tanya Steven menyipitkan mata.

Aurora mengangguk.

“Aku ingin kita bersama lagi” Steven mengutarakan niatnya.

Aurora terdiam. Kata yang selalu diimpikan dan diharapkan, kini menjadi kenyataan. Andai tidak dibayangi masa lalu, Aurora akan menyambut permintaan Steven dengan senang hati.

“Steven, keputusanku tidak berubah…” kata-kata Aurora terhenti melihat Steven kini berlutut.

“Maukah kamu menikah denganku?” tanya Steven.

“Kamu lupa? Kita sudah menikah Steven” Aurora mengingatkan, “Bahkan kita akan bercerai”.

“Kamu bukan akan menikah dengan Steven dari keluarga Wardoyo tapi Steven. Hanya Steven”.

Aurora tampak kebingungan memahami maksud Steven.

“Sejarah buruk yang kamu takuti tidak akan terulang. Selama satu tahun ini aku mempertimbangkan segalanya. Aku melepaskan segalanya sama sepertimu. Bahkan aku memulai bisnis baru agar bisa bersamamu”.

Aurora tersentuh mendengar usaha Steven. Jika pria di hadapannya berusaha memulai, ia selalu meyakinkan diri untuk mengakhiri. Steven menggenggam kedua tangan wanita yang masih berstatus istrinya.

“Steven, kamu tidak perlu melakukan itu semua” suara Aurora mulai serak.

Steven menggeleng, “Semua ini perlu karena aku ingin bersamamu. Setahun tanpamu bagaikan neraka. Aku merasa kehilangan arah”.

Jika perasaan bisa berbicara, maka takkan ada kebohongan. Andai perasaan dapat mengatakan segalanya, maka takkan ada pengorbanan. Semua telah dirancang agar memberikan kesempatan pada waktu. Aurora menggigit bibir bawahnya, menahan air mata.

“Bisakah kita memulai segalanya?” pinta Steven.

Cairan bening lolos dari kelopak mata Aurora, “Aku menunggumu selama ini. Setiap hari aku selalu menatap pintu ini membayangkan kamu berdiri di sana”.

“Aurora, Maukah kamu menikah denganku?” ulang Steven.

Perlahan malam merayap menutupi langit. Matahari tergantikan kehadiran bulan dan bintang-bintang. Steven seakan tak peduli keindahan langit malam ini. Ia cukup bahagia mendapatkan anggukan kecil dari Aurora. Sebuah anggukan untuk memulai babak baru.

The Revenge GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang