The Only One I'll Ever Love

834 110 28
                                    

Kereta cepat berwarna merah terakhir dari Paris itu tiba di stasiun utama Berlin lewat tengah malam. Perjalanan selama delapan jam lebih--nyaris sembilan jam--dengan satu pemberhentian yang menguras sebagian besar tenaga Alex.

Laki-laki itu terbangun dari tidur ringannya oleh hiruk pikuk penumpang lain yang bersiap-siap turun. Kelopak matanya yang berat dan tertutup poni perlahan-lahan terangkat. Badannya memberontak, satu-satunya yang dia inginkan adalah kembali memejamkan mata. Namun bayangan wajah seseorang yang akan ditemuinya sebentar lagi mengembalikan sisa-sisa kekuatannya.

Alex menyapukan ibu jarinya ke atas ponsel. Layarnya bersinar, memperlihatkan wallpaper dua orang laki-laki berdiri berdampingan dengan Eiffel Tower sebagai latar belakangnya. Foto itu diambil setengah tahun yang lalu, saat Theo pergi ke Paris mengunjungi Alex.

Membuka kembali halaman memorinya, Alex tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Dia ingat betul bagaimana perjuangan mereka supaya bisa mendapatkan hasil foto yang bagus. Kaki pegal dan punggung basah oleh peluh karena berjalan ke sana kemari mencari titik tempat yang strategis di musim panas. Dan foto dengan sudut pandang terbaik itu mereka dapatkan dari Pont d'Iéna.

Angka di sudut kanan atas layar ponsel itu menunjukkan 12.56 AM. Sebelum kereta benar-benar berhenti, Alex menegakkan punggung dari sandaran kursi, sekilas meregangkan otot dan persendiannya yang kaku. Dia meraih tas selempangnya dari tempat penyimpanan barang di atas kursi, memasukkan earphone dan buku bacaan yang tidak tersentuh di meja, memastikan tidak ada barang miliknya yang tertinggal.

Koper berukuran sedang yang dibawa Alex ada di kompartemen bagasi dekat pintu masuk gerbong. Isinya tidak banyak mengingat dia hanya menghabiskan waktu satu setengah malam di Berlin. Hanya pakaian musim dingin, sebuah kotak besar aneka rasa macarons dari pâtisserie paling terkenal di Paris, serta satu set lilin aromaterapi edisi terbatas yang baru diluncurkan dua hari lalu.

Keluar dari kereta bersama arus penumpang lain, pandangan Alex seketika disambut oleh konstruksi khas Berlin Hauptbahnhof yang didominasi baja dan kaca. Sebagian besar toko di pusat perbelanjaan dan tempat makan stasiun sudah tutup. Hanya ada restoran cepat saji yang buka selama 24 jam dan beberapa fasilitas layanan seperti pusat informasi dan loker penyimpanan bagi orang-orang yang mengambil one day trip.

Layanan bus umum berhenti beroperasi dari jam satu hingga jam setengah lima pagi nanti. Satu-satunya pilihan transportasi tercepat menuju apartemen di Lubecker adalah taksi. Namun, Alex tidak yakin bisa menemukan taksi konvensional dengan cepat, mengingat ini pertama kalinya dia datang ke Berlin saat dini hari.

Dia sedang berpikir untuk menggunakan taksi online ketika dari kejauhan matanya menangkap siluet yang begitu familiar.

Sosok yang dikenalnya itu duduk di sebuah bangku dekat pintu keluar stasiun, menggerakkan salah satu kaki dengan bosan, terkadang mengayun-ayunkannya seperti anak kecil. Alex memicingkan mata, sekedar memastikan dia tidak salah lihat.

Ada beberapa detil penampilan Theo yang berubah sejak mereka terakhir bertemu bulan lalu. Tapi Alex yakin seratus persen, laki-laki itu memang Theo Lee, yang seharusnya tidak ada di sana.

Alex membuka aplikasi Whatsapp di ponsel dan membaca pesan terakhir yang diterimanya tiga jam lalu. Di pesan itu tertulis jelas, dia meminta Theo tetap di apartemen dan menunggunya datang. Pesan itu dibalas dengan sebuah stiker lucu bertuliskan 'Ok' dalam kurun waktu kurang satu menit.

Jawaban yang dibalas terlalu cepat dan terlalu mudah.

Alex menghela napas. Bagaimana dia bisa lupa? Dia bisa membayangkan Theo membalas pesannya dengan cuek dan beberapa jam berikutnya tetap berangkat menuju stasiun.

When Love Finds Its Way - WLCA Short Sequel [MXM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang