Anak Mami

405 61 84
                                    

Ransel penuh sesak tersandar pada dinding kamar, di sebelah ransel itu berdiri seorang pemuda mengenakan celana pendek krem garis kotak-kotak, kemeja putih dengan motif selaras membungkus kaus buntung yang dikenakannya. Pemuda itu menyibak isi lemari, ia tengah berkemas menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke Bandung. Langit masih gelap, belum terlihat rona keemasan yang biasa memancar secara horizontal pada garis cakrawala, namun titik awal ingar bingar kota besar sudah memulai denyutnya. Aldo beranjak menuju rak buku, ia memilih beberapa buku karya Dan Brown, kemudian memindahkannya ke dalam ransel. Laptop dan beberapa kubus rubik koleksinya ia tempatkan pada tas terpisah.

Ponsel dengan back case putih yang tergeletak di atas tempat tidur berdering, Aldo mengangkat wajah. Melihat nama Randi di layar, ia langsung melompat meraih ponsel, kemudian menekan tombol jawab.

"Ya, Ran?"

"Jadi ke Bandung nggak, Cuy?"

"Ya jadilah."

"Soalnya kemarin sore gue udah nemu tempat kos buat lo, udah gue bersihin malah. Kalau lo nggak jadi datang mau gue lego." Randi cekikikan.

"Tumben lo rajin."

"Nah, gue kan emang rajin dari sononya. Nggak kayak lo, dari zaman Nipon udah jadi Anak Mami."

"Sial! Gue mau lanjut packing nih, ganggu aja lo."

"Gue cuman mau mastiin, lo jadi berangkat atau nggak. Kalau lo hilang kan gue juga yang repot." Randi terpingkal-pingkal.

"Sial lagi!"

Randi semakin terkekeh-kekeh sebelum sambungan telepon berakhir.

Aldo paling kesal mendengar sebutan anak mami yang disematkan kepadanya. Andai bukan Randi yang memanggilnya anak mami sudah pasti ia akan sangat murka. Gelar itu pertama kali Randi berikan waktu mereka masih sama-sama berseragam putih abu-abu. Sebagai anak bungsu Aldo selalu mendapat perlakuan spesial dari mamanya. Kala itu hujan deras mengguyur Jakarta, bertepatan dengan jam istirahat sekolah, Mama Aldo datang ke sekolah mengantarkan payung dan sweter agar saat pulang Aldo tidak kebasahan. Kejadian itu membuat Aldo habis-habisan diledek Randi yang kemudian menjulukinya Anak Mami. Waktu masih SMA Aldo dan Randi tinggal satu komplek, setelah mereka tamat, orang tua Randi yang asli Bandung pindah kerja ke kota asalnya. Semenjak itu Aldo dan Randi terpisah jarak, namun komunikasi antar mereka tetap berjalan dengan baik. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi Ilmu Komunikasi, Aldo masih berjuang mewujudkan mimpinya menjadi wartawan profesional, sementara Randi sendiri sudah bekerja sebagai Sales Executive di perusahaan otomotif terkemuka di kota Bandung.

Keheningan menyeruak selingkup kamar ketika Aldo teringat mamanya, teringat keanehan sikap mamanya, pertanyaan yang sama pasca kejadian di meja makan pada malam sebelumnya kembali terlintas. Aldo menghela napas panjang, memejamkan mata, kemudian membuang napas perlahan, ia kembali memotivasi diri bahwa keputusan yang ia ambil adalah yang paling tepat. Pemuda itu sadar betul, betapa keraguan harus dilawan dengan tindakan dan segala tindakan sudah pasti memiliki konsekuensi. Aldo semakin mantap dengan keputusannya, apa pun halang lintang yang menghadang biarlah menjadi likuan dari sebuah proses. Dengan sigap Aldo menarik tali ransel kemudian melangkah keluar kamar menuruni anak tangga. Ia langsung menuju meja makan, di sana papanya dan Raka sudah menunggu untuk sarapan pagi bersama. Aldo menyandarkan ransel yang ia bawa pada kaki meja, kemudian duduk di sebelah Raka, mata Aldo menatap kursi kosong di samping tempat duduk papanya.

"Mamamu flu, sekarang lagi istirahat," ucap Diki menjawab tanya yang ia baca dari sorot mata anaknya. "Yuk, sarapan dulu, Bandung itu jauh lho," lanjut Diki.

Aldo senyum tawar, ia tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban papanya. "Apa mungkin Mama sengaja menghindar," batin Aldo.

"Dapat tiket kereta jam berapa?"

SEKAR MAYANG (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang