Nyasar

331 52 159
                                    

Perempuan muda itu beranjak keluar kamar sambil mengucek mata, rambutnya acak-acakan. Sisa mimpi masih terpaut pada separuh alam sadarnya. Baju tidur merah muda bermotif bunga-bunga yang membungkus tubuh mungil itu terlihat sedikit kusut. Dengan handuk yang menggantung di bahu, Alya mempercepat langkah menuju kamar mandi.

"Teh, tukar STNK, Fatir mau pakai motor biru!"

"Teteh pakai motor biru, kamu yang hitam!" balas Alya ketus.

"Nggak mau! Teteh yang hitam, Fatir yang biru."

"Huuuuft, kalian ini kayak anak kecil! Masih pagi sudah pada ribut." Bu Siti menengahi kegaduhan dua anaknya yang berebut menggunakan motor paling bagus.

"Teh Alya yang mulai, Ma," sanggah Fatir sambil memasang tali sepatu.

"Kamu yang mulai!" balas Alya. Suaranya terdengar bergema jauh karena terkurung ruang kamar mandi.

"Sudah, sudah! Punya anak dua biji, nggak akur-akur."

"Kok biji sih, Ma?"

Dari dapur Bu Siti menyunggingkan senyum, sembari melanjutkan rutinitas pagi menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya.

***

Menggunakan motor Randi, pagi itu Aldo berangkat ke Persada Post mengantarkan berkas lamaran. Walau baru satu hari di Bandung, Aldo tidak kesulitan berangkat sendiri, sebab jarak tempat indekosnya tidak begitu jauh dari gedung Persada Post dan yang paling penting jumlah belokan jalannya tidak terlalu banyak. Ketika hendak pulang, saat berada di lobi gedung, tanpa sengaja tubuh Aldo bertubrukan dengan seorang perempuan muda. Blitz kamera yang berada dalam genggaman perempuan muda itu jatuh terhempas ke lantai. Kaca kristal penutup bagian depan flash hancur tak berbentuk, blitz terpotong menjadi dua bagian, pada sambungannya tampak kabel kecil warna merah melintang.

"Iiiiich, kalau jalan lihat-lihat dong!" gerutu perempuan muda.

"Maaf, saya tidak sengaja," balas Aldo merasa bersalah.

Aldo dan perempuan muda sama-sama berjongkok mengumpulkan serpihan blitz yang berserakan di lantai.

"Aku nggak mau tau, pokoknya kamu harus ganti!" Perempuan muda terus berkicau memarahi Aldo. "Kamu nggak tahu sih, ini blitz bersejarah, hadiah ulang tahun dari Papa aku. Makanya kalau jalan jangan ngelamun aja, lihat ke depan, lihat ke kiri, lihat ke kanan, gini kan jadinya.

"Iya, saya ganti."

Dalam hati Aldo pengin tertawa, bukannya takut ia malah merasa lucu melihat ekpresi wajah imut-imut yang mengomel di hadapannya. "Cantik sih tapi galak. Imut sih, tapi cerewetnya melebihi ibu-ibu arisan se-Indonesia kalau digabung jadi satu," batin Aldo. Perempuan muda membelalakkan mata, saat tangan mereka beradu menggenggam potongan blitz yang sama. Dengan cepat ia mengibas tangan Aldo.

"Iiiiiiich!"

Aldo tidak kuasa lagi menahan tawa.

"Ya sudah, sekarang saya ganti, berapa harga blitz-nya?"

"Aku nggak mau diganti pakai uang," balas Perempuan muda ketus.

"Nah, terus pakai apa dong?"

"Ini blitz bersejarah, kado ulang tahun dari Papa aku. Jadi nggak bisa seenaknya kamu nilai pakai uang. Kalau aku minta sepuluh juta, pasti kamu nggak mau kan? Ya kan! Nggak mau kan?"

"Buseeet! Blizt apa itu harganya mahal banget."

"Makanya jangan sombong, menilai segala pakai uang."

SEKAR MAYANG (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang