MOS

45 9 4
                                    

Pagi itu, saat jam menunjukkan waktu 05.55, Navera datang menghampiri sahabatnya, Kalisa, dengan keluhan ingin buang air kecil. Dilihatnya sekeliling lapangan tengah ramai berbaris para peserta didik baru yang berhasil menjadi siswa-siswi SMA Saint Marisco. Sedangkan dia masih merayu Kalisa untuk ditemani menuntaskan kegelisahannya.

"Kal, ayolah, temani aku!" Rayu Nav.

Kalisa terdiam sesaat. Ia menghitung perkiraan waktu yang akan mereka habiskan nanti. Tentu saja ia tak ingin terlambat upacara dan menerima hukuman.

Terlebih, anak-anak yang mendapatkan hukuman di hari pertama akan mudah ditandai oleh kakak tingkat. Tak terbayang jika sampai ia menjadi siswi yang ditandai.

Melihat sahabatnya yang tengah terdiam merenung, Navera menarik paksa lengan Kalisa.

"Menghitung spekulasi waktu hanya menghabiskan waktu, Kal. Lebih baik kita pergi sekarang."

Kalisa hanya diam menurut kala ditarik oleh Nav. Diikutinya langkah kaki Navera sebagai bentuk pengabulan keinginan. Hingga akhirnya niat tulusnya buyar ketika melihat segerombolan siswa didepan toilet.

"Nav, kamu yakin mau nunggu?" Tanya Kalisa.

Langkah mereka terhenti menyaksikan deretan antrian panjang didepan pintu toilet. Lima menit yang mereka miliki tidak akan cukup jika dihabiskan untuk menuggu. Dan hal itu bisa membuat mereka terlambat mengikuti upacara hari pertama MOS.

"Kita bisa terlambat kalau antriannya sepanjang ini. Tetapi aku juga nggak bisa kalau nahan pipis. Bisa-bisa aku kencing di celana nanti." Kata Nav.
"Kita pergi ke toilet lain saja." ajak Kalisa.

"Toilet lain? Bukannya jauh dari sini ya?"

"Coba kita tanya ke kakak tingkat." Kalisa menghampiri seorang gadis berambut panjang dan cantik. Di seragamnya terdapat simbol angka dua belas dalam bentuk romawi. Dilehernya menggantung sebuah nametag bertuliskan "Panitia MOS SMA Saint Marisco. Wajah cantiknya terpancar tanpa senyuman sedikitpun. Ketus.

"Permisi kak, saya mau tanya. Apa ada toilet lain disekitar sini?" tanya Kalisa dengan hati-hati. Ia takut jika sampai salah ucap mengingat gadis didepannya adalah panitia MOS.

"Kenapa memangnya?" gadis itu bertanya balik.

"Teman saya kebelet kak, tapi antriannya sangat panjang. Bisa-bisa kami telat upacara terus dihukum deh." jawab Kalisa.

"Hmm.." mata gadis itu bertemu mata Nav. Lumayan lama mereka beradu pandang. Tanpa kata, tanpa ucap. Dilangkahkannya 1 kaki mendekati Nav.

"Kamu yang mau ke toilet?" tanyanya. Nav hanya mengangguk.

"Sebenernya ada sih satu toilet lagi. Dan dijamin nggak akan antri."

"Dimana kak?" tanya Kalisa menyela.
Gadis itu menolehkan kepalanya ke sebelah kanan dan berhenti tepat kearah sebuah bangunan. Bangunan itu adalah bangunan tua, bangunan dengan desain terkuno yang belum direnovasi.

"Kalian lihat bangunan itu?" telunjuknya mengarah ke bangunan itu.

"Itu ruang kesekretariatan kan, kak?" tanya Kalisa.

"Iya, dan dibelakang bangunan itu ada toilet. Disana pasti nggak antri." jelas gadis itu. Nav membaca senyum anehnya. Tetapi dia hanya diam tak berkata.

"Kalau kami kesana, nggak apa-apa kak?" tanya Kalisa.

"Silakan. Daripada kalian telat, kan?" gadis itu tersenyum mencurigakan. Antara baik atau jahil, Nav sulit menebak arti senyumannya.

"Kalau gitu kami mau kesana saja ya kak. Terimakasih informasinya." kata Kalisa sambil sedikit merunduk.

Digandengnya tangan Nav yang masih terbengong. Sedari tadi ia tak lepas pandangan dari kakak tingkatnya itu. Dia mengetahui sesuatu yang belum jelas kebenarannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SANG PENJAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang