Semilir angin berhembus, meniup dedaunan kecoklatan. Aku tak dapat melihatnya. Bahkan aku telah berusaha menangkapnya. Tapi aku tak mampu. Dan tak akan pernah mampu. Tak ada satu pun yang mampu melakukannya. Tapi aku bisa! Aku bisa merasakan hembusannya. Menerpa seluruh tubuhku. Meniup rambut curlyku. Menyapu setiap sudut wajahku. Lalu lenyap begitu saja. Kembali seperti yang sudah ditakdirkan–tak terlihat wujudnya.
Aku selalu suka angin Bulan Mei–meski sekarang belum memasuki bulan Mei. Uhm, sebenarnya bukan karena anginnya. Aku bahkan tak pernah mengamati kesejukan angin. Tapi karena aku bertemu dengannya pada awal Bulan Mei. Karena dia. Dia yang berhasil mencuri hatiku pada pandangan pertama. Dia yang selalu mengisi pikiranku. Dia yang senantiasa membantuku saat aku kesulitan. Dia yang...ah, aku selalu menggebu saat menceritakannya. Tapi yang terpenting dan yang harus kau tahu adalah: hanya padanya aku mampu bersikap hangat.
Dia. Dia adalah Diana Cauley, gadis cantik yang supel, humoris dan aneh. Aku memanggilnya Di meski ia lebih suka kupanggil Diana. Tapi aku suka menyukai panggilan itu. Toh akhirnya ia tak bersikukuh ingin dipanggil Diana. Pernah suatu kali dia melempar protes padaku.
“Don’t call me Di, Haz! Call me Diana.”
“Tapi aku lebih suka memanggilmu ‘Di’,” sikukuhku kala itu. “Lagi pula, aku tak merubah namamu, bukan?”
“Ya, ya, ya. Memang susah melawanmu, Haz. Dasar es batu!”
Terkadang Di memang memanggilku es batu. Entah kenapa. Aku terlalu dingin seperti es batu katanya. Karena opininya inilah aku berusaha untuk ‘mencairkan’ hatiku. Dengan membuka hatiku untuknya contohnya. Maka dari itu aku berusaha melakukan sesuatu agar aku dapat lebih dekat dan mengenalnya secara langsung. Aku sedang melakukan sesuatu yang biasa disebut ‘pendekatan’.
Aku bertemu dengannya untuk yang pertama kali tepat pada tanggal 3 Mei 2012. Kami tidak berada dalam satu kelas. Tapi hampir setiap hari kami bertemu. Aku adalah pengunjung setia perpustakaan sekolah. Sedangkan Di adalah asisten Madam Sienna–pustakawan di sekolahku. Karena itulah kami sering bertemu. Dan di sanalah kami bertemu untuk yang pertama kalinya...
“Apa kau yang bernama Harry Styles?” tanyanya malu-malu padaku kala itu.
“Ya–benar,” jawabku. Jujur saja, aku sedikit heran denganya. Selama ini hampir tak ada satu pun gadis yang mau mendatangiku. Karena mereka tahu, aku akan mengabaikan mereka dan bersikap dingin. Tapi kali ini berbeda. Hati bekuku seolah mampu tercairkan. Kehadiran Di seakan sinar mentari yang menerpaku, membuatku lambat laun mencair. “Ada apa?”
“Madam Sienna memintamu menemuinya sekarang juga,” ucapnya terbata-bata.
Aku tersenyum tipis ke arahnya lalu meninggalkannya–yang ku yakini isi kepalanya dipenuhi tanda tanya–dan menemui Madam Sienna. Kini, baru ku sadari. Itu adalah senyuman pertama yang ku lemparkan kepada perempuan yang sebaya denganku. Dan ‘sang penciptanya’ adalah Diana Cauley...
Sejak saat itu, aku sering menghabiskan waktu kosongku di perpustakaan. Untuk apa? Untuk mengenalnya lebih dekat. Bahkan tak jarang aku sengaja mengembalikan buku dengan terlambat. Kenapa? Karena Madam Darcy tak menyukainya. Pastilah beliau meminta Di untuk menemuiku untuk meminta kembali buku yang ku pinjam. Tentunya dengan denda yang telah ditentukan. Lucu rasanya. Di seolah menjadi seorang debt collector. Wajahnya yang polos sama sekali tak meyakinkan orang lain bahwa ia adalah seorang debt collector. Sama sekali tak ‘menakutkan’.
Awalnya aku tak mengetahui namanya–tentu saja. Tapi akhirnya aku tahu juga. Aku mengetahuinya karena betapa seringnya aku bertanya kepadanya letak buku ini dan itu–meski aku sudah mengetahuinya dan bahkan aku sering mengulangi pertanyaan yang sama. Dari situ, akhirnya kami sering mengobrol dan akhirnya saling mengenal. Tentu saja kami tidak berkenalan. Aku terlalu malu untuk melakukannya secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Regret
FanfictionPernah ga sih, kalian suka sama seseorang tapi ga terungkapkan? Baca, deh. Biar kisahmu ga kayak Harry....