Selain kesibukannya di ruang OSIS, yang bisa membuat Mark tenang hanyalah hangout santai di Dreamies.
Memang rutinitasnya sedikit terganggu dengan keberadaan Lucas akhir-akhir ini. Diam-diam Mark menyumpahi siapa pun yang bisa-bisanya menerima teman menyebalkannya sebagai pekerja.
Namun setidaknya, hari ini ia bisa rileks karena batang hidung Lucas pun tak nampak sedikit pun di sana.
Mark menyeruput Caramel Frappucino dinginnya dengan khidmat, sementara tangannya membolak-balikkan halaman buku yang sudah sedari setengah jam lalu ia baca. Judulnya The Subtle Art of Not Giving A Fuck karya Mark Manson.
Sedikit informasi, Lucas lah yang membelikannya ketika ia menginap di rumah pemuda jangkung itu beberapa hari silam.
"Masih jam setengah enam," Mark melirik jam tangannya saat ia istirahat membaca. Di hadapannya, minuman sudah habis tak bersisa. "Pesen satu lagi nggak masalah kan ya. Masih ada uang jajan."
Belum saja Mark beranjak dari tempatnya untuk memesan, sepasang telapak tangan lebar mendarat di bahunya.
Mark menoleh ke kiri untuk berbalik, tepat saat si pelaku melongokkan kepala dari balik bahu Mark sehingga wajah keduanya hanya berjarak beberapa senti sekarang.
Reflek, tangannya yang masih memegang buku melayang dan menampar wajah Lucas, tepat di jembatan hidung pemuda itu.
"Aduh, bangsat!"
Dia hanya memandang Lucas datar sementara teman jangkungnya berlutut di sebelah kursinya sambil mencengkeram wajah.
"Yang santai dong," ujar Lucas dengan nada galak yang tidak cocok dengan ekspresi melasnya, membuat sudut bibir Mark naik tanpa ia sadari.
"Hidung gue mancung! Lo tampar gitu pake buku ya kerasa langsung sampe ke tulang-tulang lah, Mark."
"Yang tadi tiba-tiba nepuk bahu gue siapa?" Mark membalas dengan tenang.
"Gue!"
Ia menaikkan sebelah alis. "Jadi yang salah siapa?"
Lucas merengut, "... iya, gue yang salah."
"Terus, lo ngapain disini?" Tanya Mark. Tangannya menarik jaket denim Lucas di bagian bahu, kemudian menarik pemuda yang lebih besar darinya itu asal-asalan hingga berdiri.
Herannya, rengutan Lucas berubah menjadi seringai lebar. Mark menyipit tidak suka ketika temannya itu dengan semangat menarik kursi kosong dari meja sebelah lalu menempatkannya di seberang tempat Mark berada.
"Gue nggak jadi barista hari ini. Dan karena menurut ingatan gue, lo sering ke Dreamies pas malem minggu jam seginian, makanya gue memutuskan buat nyamperin lo."
Jujur, sekarang Mark sedang memahat kata 'bacot' di benaknya. Namun Lucas terlihat bangga dengan kalimat yang ia ucapkan, Mark pun tidak sampai hati menyuarakannya.
"Yaaah, padahal biasanya jam segini gue kencan sama gebetan," Lucas merenggangkan badannya, membuatnya terlihat seperti bocah kelebihan kalsium. "Demi lo, kawan pendiam gue, jadwal kencannya gue batalin."
Sungguh, Mark pening dibuatnya. Sudah banyak omong, suara pemuda di hadapannya ini membuat telinganya berdenging beberapa detik.
"Makasih." Hanya itu yang mampu Mark ucapkan, mewakili berbagai pemikiran yang bersliweran di benaknya.
Lucas hanya terkekeh. "Ngomong-ngomong, Mark."
"Hm?"
Si pemuda stoic menatap Lucas skeptis ketika temannya itu tersenyum lebar lagi. Tipe senyuman yang membuat seseorang yang menyukai ketenangan seperti Mark merasa tidak nyaman.
"Hehehe."
Dilihatnya Lucas yang dengan terburu-buru membuka ransel yang ia bawa, lalu mengeluarkan buku paket bercorak pink putih yang familiar.
"Gue nginap rumah lo ya."
Bagaikan petir di siang bolong, sumpah, Mark melebarkan mata saking kagetnya.
"Sekalian ajarin gue materi Kimia yang kemarin. Bab Baper sama Hidrolisis."
"Hah? Gak bisa!"
Bahkan Mark tidak mengomentari kesalahan Lucas mengucapkan materi Bufer. Pikirannya pecah, antara mencari alasan menolak mengajari dan terutama, menolak permintaan Lucas untuk menginap.
Hei, Mark berada di Dreamies supaya dia bisa pulang lebih malam. Supaya tidak ada yang menyadari kehadiran dia.
Kenapa juga dia malah membawa Lucas yang rusuhnya tidak kira-kira?
"Ayolah, kan kemarin lo udah nginep di rumah gue," ujar Lucas. "Kenapa gue nggak boleh nginep di rumah lo?"
Mark mendengus. "Rumah gue kecil. Kamarnya nggak ada airconnya."
"Lah emang kenapa?" Lucas memundurkan wajah, membuat double-chin samar muncul di perpotongan leher dan dagunya. "Gue sangat fine with everything. Nothing ganggu me."
"Bahasa, Lucas."
"I'm fine with any condition. Nothing really bothers me," kata Lucas lagi.
Si pemuda stoic menghela napas. Lelah. Pusing dan sudah tidak ada ide hendak beralasan apa.
"Lagian ya Mark, gue udah izin mama papa. Udah bawa playstation pulak, nih liat isi tas gue," Lucas betul-betul membawa peralatan gamenya di sana. "Masa gue nggak jadi main sih, nggak seru amat."
"Iya iya. Lo bawel."
Dari ekor matanya, Mark melihat senyum Lucas merekah kembali.
"YES!"
"Berisik."
Dalam hati Mark berdo'a, semoga rencana menginap dadakannya berjalan lancar-lancar saja.
─
KAMU SEDANG MEMBACA
Imaimashí ─lucas, mark。
Fiksi Penggemar〔𝙤𝙣 𝙜𝙤𝙞𝙣𝙜〕 Dimana Lucas termotivasi untuk mengganggu Mark agar bisa melihat ekspresi kesalnya, ft. nct's lucas/mark. ⓒ2018, prodsung。