Hujan 42 | ☔💧

532 30 2
                                    

"Tersenyum tulus itu ternyata sulit, dan meratapi nasib itu hal yang mudah dilakukan"
_ Hujan Nandira



Matahari telah bersinar, sampai sinarnya menembus kaca jendela kamarku. Mungkin semalam aku lupa menutup jendela.
Aku bangkit dari keranjang kamar,
Suasana pagi hari masih terasa begitu dingin. Aku melihat sebuah kertas karton berwarna putih polos terdapat coretan kumpulan mata pelajaran. Kali ini dengan terpaksa aku memasukkan beberapa buku ke dalam tas. Seusai itu aku bergegas untuk melakukan ritual pagi, ya mandi.
7 menit telah berlalu, aku segera turun ke lantai bawah. Lebih tepatnya tempat makan, namun ditengah tangga langkahku berhenti sejenak. Aku disini berdiri dengan pikiran yang masih berharap bahwa mama itu ada disana. Mama sedang menyiapkan makanan, seperti apa yang mama lakukan tiap hari.

Sebuah air mata jatuh di pipi milikku, berusaha untuk tersenyum namun jiwa ku merasa sedih.
"Mama, Hujan kangen lagi sama mama. Hujan pengen banget pagi ini ngelihat mama, dapet senyuman dari mama, cium punggung tangan mama, sarapan buatan mama" gumamku pelan sembari mengusap air mata.

"Hujann" teriak Reza dari tengah ruang tamu.

Dengan buru-buru aku melangkahkan kaki menuju tangga berikutnya. Hingga sampai menuju sumber suara itu berada,
Disana sudah ada Reza yang duduk saling bercakap dengan Afero.
"Fer? Ngapain disini?" tanyaku memecahkan suasana.

"Ya jemput kamu lah. Masa ngapelin Reza" sahut Reza dengan senyum jahilnya.

Aku hanya bisa meringis, menunjukkan deretan gigi yang kumiliki.

"Makan aja dulu, gak usah buru-buru" pesan Afero dengan wajah datar.

Aku mengangguk, namun pikiranku kembali beradu dengan sebuah ingatan. Ya merindukan mama.

"Hujan gak boleh nangis, gak boleh sedih dihadapan mereka. Hujan gak boleh terlihat lemah" batinku kepada diriku.

Sempat terdiam beberapa detik dan aku kembali angkat bicara,
"Fer, aku kenyang. Kita langsung berangkat aja" ajakku.

Papa yang mulai berjalan dari dapur sana pun menghampiriku ,
Menepuk pundakku.
"Hujan hati-hati sekolahnya" pesan papa yang kubalas dengan manggut-manggut tersenyum. Aku tak lupa mencium punggung tangan papa, yang dihadiahi dengan senyuman papa. Entah disini yang sedang berpura-pura tersenyum siapa?
Yang jelas aku sedang berbohong untuk bab tersenyum.

"Za, aku berangkat" aku berucap kepada Reza selaku kakakku.

"Ya sana, jangan ngebut ya Fer. Awas kalau Hujan kenapa-napa! Lo yang bakal gue temuin pertama kalau adek gue kenapa-napa" ancam Reza.

Afero yang mendengarnya, hanya tersenyum sok tampan.
Tanpa basa-basi lagi kami berdua keluar dari rumah dan berangkat menuju sekolah.

Pukul 6.45 sampai di Sekolahan Pelita Harapan, kami berdua langsung melesat ke ruang kelas.
Sampai di dalam kelas, teman-teman berjabat tangan kepadaku dan sebagian ada yang memelukku. Namun yang memeluk anak cewek lah bukan anak cowok. Emang gue cewek apaan, asal dipeluk-peluk aja. Mereka berusaha menguatkanku dan menasihatiku untuk mengikhlaskan kepergian sang mama.

Sungguh aku semakin sedih!

Jam pelajaran pun dimulai, kali ini mata pelajaran awal adalah Bahasa Indonesia.
Aku belajar untuk melupakan masalah yang sedang kurasakan saat ini, belajar untuk fokus ke pelajaran. Karena sebentar lagi akan libur panjang, jadi masa-masa sekolah harus kurasakan sekarang juga.
Btw, libur karena ada Ujian Nasional dari kakak kelas.
Ye lumayan lah buat holiday!

Ah, sama saja. Semuanya tak akan membuatku bahagia seperti dulu. Segalanya telah berubah.

Aku rindu liburan ke Puncak bareng ayah dan mama. Aku merindukan pelukan hangat dari mereka.
Meski belum ada satu bulan mereka meninggalkanku, namun waktu lama telah kurasakan.

Hujan Januari (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang