Untuk Apa Aku Pulang?

17 3 0
                                    

Temaramnya ibukota termakan oleh lautan sinar mentari yang ingin pamit pergi, menyisakan berkasan cahaya yang tertanam akar pohon, membiaskan ke seluruh cermin kehidupan. Cahayanya berhamburan, menyesakkan dan terlalu tajam sekalipun sisa-sisanya. Senja dimulai.

Bersedih adalah rutinitasmu, menangis adalah hobimu, nestapa dan luka adalah kawan sejatimu. Kau tidak pernah terlepas dari semua itu. Harus menahan betapa sakitnya atas perasaan yang selalu bertolakbelakang dengan logika yang masuk akal. Sore hadir dengan keterasingannya, rumahmu rusak. Rumah yang sesungguhnya. Peran suatu kesatuan yang seharusnya membentuk pribadimu dari kecil tidak berfungsi lagi. Sebab kedua indukmu hancur lebur, tidak serasi lagi dan tidak lagi menggumamkan nada harmoni kehidupan.

Kamarmu kembali berantakan. Bentakan menyesakkan dada tapi memantul dari telinga, tidak terdengar sama sekali. Mulutmu kaku, tenggorokanmu tercekat, kau berpikir lebih dalam sekalipun perasaanmu terluka atas apa yang terjadi saat ini. Ingin teriak, namun kau tahan. Maka deras air matamu yang menggantikan. Kau sudah terlanjur menanggung malu atas sikapmu sendiri. Berteriak keras di rumah. Suaramu tidak terpendam oleh dinding rumah, melainkan mengetuk pintu-pintu rumah tetangga, membangunkannya dan membuat mereka menggerutu, terganggu. Kau menanggung malu. Sekarang, kau tidak ingin itu terjadi lagi.

Kau benar-benar tersakiti. Entahlah berapa kali, namun ini untuk kesekian kali. Luka selalu setia menemanimu, seolah kau tidak pantas mendapatkan bahagia. Sedih selalu menggelayut di antara kedua matamu, seolah ia tidak mengizinkan air matamu terus-terusan tersimpan di dalam kantungnya. Ocehan indukmu terus menggandrungi telinga. Kau memasuki barang-barang penting ke tas kecil. Usai ganti baju, kau beranjak pergi meninggalkan rumah.

Di perjalanan, seolah alam pun tidak peduli atas penderitaanmu. Tidak ada pertanda yang mampu kau baca saat itu. Kau terisak di tengah jalan. Mulutmu tertutup masker, kedua matamu terpantul cahaya dari kacamata yang kau pakai, jadi dapat menyamarkan jika kau menangis. Jaket merah yang kau kenakan memiliki tudung kepala, kau memakainya. Menjelma menjadi sosok misterius di antara kerumunan manusia.

Kesukaanmu, duduk di bis paling depan, urutan kedua dan paling pojok dekat kaca. Bis melaju, udara segar selalu memberikan relaksasi bagi dirimu yang sedang berduka. Langit mendung, namun tak turun sedikit pun air yang menggenang di awan kelabu itu. Bis melaju lagi. Entah kau ingin kemana. Kau tidak memiliki tujuan.

Telingamu tersumpal earphone, memutar lagu melankoli yang semakin mendukung keadaan sekarang. Matamu terpaku memandang langit, mencari-cari bintang yang mustahil muncul ketika senja. Namun kau percaya, barangkali ada beberapa bintang atau satu bintang yang sudah bersinar terang membawa kebahagiaan melalui pancarannya dengan satu pandangan untuk manusia seperti dirimu. Kau benar-benar terpaku. Satu-dua halte telah berlalu. Kau tidak turun juga. Langit semakin mendung, awan semakin muram tidak tahan untuk menurunkan airnya.

Bis itu melaju ke bagian Barat kota Jakarta, di bagian ini gedung-gedung pencakar langit memantulkan keindahan di tengah ibukota. Walaupun, sesekali menghalangi indahnya cahaya mentari yang ingin menciumi bumi. Kau mencintai dirimu melebihi apapun. Kau sering mengajak dirimu sendiri untuk berdamai dengan waktu. Bersenandika. Tertawa sendiri. Mengusap sendiri. Seperti dirimu adalah tubuh yang dibagi menjadi dua. Kau terlalu mencintainya, dan juga terlalu membencinya. Sehingga ketika kau terluka dan bosan menjadi diri sendiri, ketika sakit yang kau idap itu muncul, maka kau akan memukul, mencaci, dan menyiksa dirimu sendiri. Tiada ampun. Menyiksa sampai habis. Ketika tubuhmu jera, kau terluka, jiwamu pecah, maka kau menyesalinya. Mengelusnya kembali dan mengucapkan kata-kata romansa.

Satu halte sebelum halte terakhir, kau turun di situ. Beranjak ke bis dengan jurusan yang sama. Duduk di tempat yang sama dan melakukan aktivitas yang sama, menatap langit. Matamu tidak pernah bisa membohongi kekuatan langit dalam berbahasa. Dari pancaranmu, terdapat sebuah pengharapan besar yang terlahir dari lubuk hati yang paling dalam. Dari pancaranmu, seolah sinar kesedihan dihisap oleh awan dan langit menggantikannya dengan keteduhan. Hatimu mulai tenang, tapi tidak dengan jiwamu.

Di separuh perjalanan, kau terus bertanya. Apakah aku harus pulang? Apakah aku akan pulang? Apakah aku pulang sekarang? Semua pertanyaan yang bervariasi kalimat namun dengan esensi yang sama. Dan terakhir, pertanyaan yang membuatmu kembali melanjutkan perjalanan.

Untuk apa aku pulang?

Bis itu masih melaju pada lajurnya. Kau turun di halte berikutnya, menyebrangi jembatan pejalan kaki yang sungguh panjang untuk mencapai halte sebrangnya. Senja semakin nampak, kendaraan semakin menyesaki jalanan ibukota. Langkahmu gontai dan pelan, kau berjalan selalu dengan harmoni. Semilir angina mendesah setelah menabrak tubuhmu. Pakaian yang kau pakai melambai-lambai karena tercium angin. Setelah di halte sebrang, kau menunggu bis datang, masuk dan memilih berdiri di dekat pintu. Bis melaju membelah jalanan. Semakin mendekat kota. Kota yang terkenal dengan bangunan bekas balaikota VOC.

Pada akhirnya, kau memutuskan pulang. Senja telah pergi, pamit tanpa suara. Bulan telah menggantikan mentari di persinggahannya. Rembulan malam terlihat bahagia, tersenyum melengkuh begitu indah. Namun wajahmu tetap murung. Kau memilih pulang. Sekali lagi, kau memilih pulang walaupun kau tak membutuhkannya. Kau masuk ke dalam stasiun. Bergegas menuju jalur dimana kereta jurusanmu sudah ada di sana. Penuh. Gerbong satu kau menaikinya. Penuh. Kau berjalan terus ke belakang mencari kursi kosong tapi nihil. Kau berhenti di gerbong berikutnya, berdiri di dekat pintu dan bersandar pada bilah kaca pembatas bangku panjang penumpang.

Jiwamu separuhnya hilang karena pertanyaan yang masih belum terjawab.

Untuk apa aku pulang?

Hallo, terima kasih ya untuk pembaca setia, kamu, iya kamu, yang tetap membaca sampai bagian ini. Aku harap kita bisa ketemu ya, walaupun berpapasan hehe.

Jangan lupa untuk meninggalkan jejakmu dengan berkomentar dan memberikan vote dalam rangka mendukung karya ini! 

arigatou gozaimasu^^

MOZAICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang