Chapter 11

12.6K 1.2K 64
                                    

"Ram tunggu" teriak Ibra - adiku.

Aku memutar kembali tubuhku setelah berjalan 5 langkah dari mobil di drop-off parking belakang Rumah sakit.

"Name tag lo jatuh nih" sodor Ibra

"makasih adik unyu ku sayang" sambil ku cubit pipinya yang mulus

"jangan pegang-pegang pipi gue, kotor tangan lo ish" Ibra mengusap-usap pipinya, tiba-tiba menyentuh keningku "Ka lo bener sehat? Cuti aja deh nanti gimana kalau tumbang pas kerja"

"ngga bisa gue sibuk hari ini kan mau persiapan Akreditasi Raib" sudah dijelaskan berulang kali cape juga

"kalau ada apa-apa hubungin gue aja jangan hubungin papa ya"

Ibra memang selalu memposisikan dirinya lebih tua dariku padahal kan disini aku kakanya. Katanya saat dulu pergelutan berjuta-juta sperma Papa yang membuahi satu ovum Mama dia mengalah agar aku lahiran duluan. Dasar emang si Ibra paling konslet .

"iya jangan lupa jemput gue ya jam 4 nanti, hati-hati sana pergi" usirku

"iya-iya"

Aku langsung membalikan tubuhku berjalan menuju pintu masuk dibelakang Rumah Sakit, mataku menatap mobil SUV hitam ber-Plat no D 3 F membuka pintu disamping kemudi.
Sejak kapan dokter Dipta sampai ko tadi perasaan tidak ada mobil lewat setelah mobil yang dibawa Ibra

Dipta keluar membanting pintu mobilnya keras.
"Astagfirallah" saking kerasnya aku sampai terlonjak kaget

Dipta melirik dengan rahang yang keras, dan lirikannya apatuh ko dingin gitu

Kulemparkan senyum menawan berharap udara dingin dari refrigator yang dibawa dipta mencair "selamat pagi dok"
Dipta menatap lama kemudian pergi begitu saja.

"Watdefax! Wewe gombel kenapa sih pagi-pagi udah bikin kesal aja" gerutuku pelan sambil meninju diudara berharap tinjuku sampai dikepalanya yang hari ini terlihat rapi.

Karena tidak ingin satu lift bersamanya, kuputuskan untuk memutar jalan kedepan pintu utama Rumah sakit.

***

Arina Tanjung : ra alat melayang
kubaca chat yang dikirimkan Arin yang menjadi PJ shift sore ini.

Ramania Suaka Anggianis : seberapa parah ?

Arina Tanjung : level inti bumi, death glare!

'Alat Melayang' yang kami sebut sebagai puncak kemarahan dokter dipta, alat kuret (kuretase set) maupun alat-alat bersalin (partus set) bisa menjadi sasaran dipta untuk dilempar ketika dia sedang di puncak ke-marahannya.

Terakhir kali dokter dipta melemparkan alat 1 tahun yang lalu ketika ada pasien datang bersalin secara normal yang mulanya tidak ada keluhan, tekanan darah dalam batas normal ternyata mempunyai riwayat Preeklamsi Berat (PEB) dikehamilan sebelumnya, sehingga ketika ibu mengedan dan lahir bayi tekanan darah ibu yang tadinya normal menjadi tidak normal terjadilah kejang (Eklamsi), ketidak telitian dalam pengkajian dan melupakan pemeriksaan penunjang Protein Urine membuat kemarahannya tersulut akibatnya klem tali pusat ia lempar. Esoknya aku dimarahi habis-habisan karena rekan-rekanku tidak bisa teliti dalam pengkajian.

Kupijat pelipis yang semakin berdenyut sakit dan rasanya aku demam, dari pagi tidak henti-hentinya aku memandangi layar laptop di Aula RS untuk persiapan Akreditasi.

Baru saja aku menggeram frustasi bagaimana caranya konsul dan mendapatkan persetujuan tentang SOP (standar Operasional Prosedur) tindakan yang di revisi kepada dokter Dipta selaku penanggung jawab ruang bersalin yang harus selesai 1 minggu lagi?
malah sekarang air got yang sudah hitam serasa ditaburi tepung maizena semakin kental dan kelam nasibku.
I got a death glare too this morning, remember? Kutelungkupkann kepala ku diatas meja sungguh aku ingin menangis saat ini.

CITO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang