Leandra dan Senjanya

88 13 7
                                    

Senja mulai mengisyaratkan tiba, jingganya mulai tampak dan memberi rupa. Aku masih saja bergelut dengan lembaran kertas yang harus kuhafalkan dan disetorkan besok lusa. Dipenghujung sudut kampus, disebelah kiri pos satpam aku merebahkan badanku yang terasa begitu lelah sembari menunggu agkot untuk pulang kerumah. Setengah jam lamanya, senja mulai tampak begitu mempesona, siluet yang ditimbulkannya membuatku semakin jatuh cinta untuk berulang kali menunggunya. Angkot yang kutunggu belum juga tiba. Untung saja ponselku belum kehabisan daya utuk menemaniku menikmati senja hari itu. Lembaran kertas itu kurapikan, sejenak aku ingin melepas kepenatan dengan menikmati langit yang semakin jingga dan mulai menghitam.
Senja ini akan berakhir, padahal aku masih ingin merangkai cerita dan berhayal didepannya. Angkot jurusan rumah yang sudah satu jam lalu kutunggu akhirnya pun tiba.
"Sawojajar neng?" (teriak supirnya sembari menghentikan angkotnya ditepi jalan)
"injeh pak" (sahutku halus dalam bahasa Jawa).
Aku duduk dikursi ujung bagian belakang, sambil menolehkan pandanganku keluar, menikmati jalanan dengan hiruk pikuk yang riuh oleh kemacetan. Aku mulai larut dalam sejuta pertanyaan yang masih saja bersarang dikepalaku. Pertanyaan yang bermunculan sejak lelaki asing itu menemuiku.
"siapa dia?"
"darimana dia tahu namaku dan segalanya tentangku?"
Aku tidak bisa menghentikan otakku berlogika dan mengira-ngira. Ah sudahlah lebih baik kulanjutkan semua ini dikamar nanti.
"pak... pinggir nggeh?" (meminta supirnya berhenti karena sudah didepan rumah)
"injeh mbak e" sahut bapaknya.
***
Sudah tiga tahun lamanya aku tinggal sendiri dirumah besar milik paman Salim (adik lelaki satu-satunya dari ayahku) di kota Malang yang dikenal dengan dinginnya. Mungkin lebih tepatnya aku tidak sendiri, ada mbak Lidya anak angkat paman Salim yang 5 tahun lebih tua dariku dan Hiru kucing gendut pemberian tante Firma dihari istimewaku.
"piye Le, lancar hari ini?" (dengan medok Jawa pertanyaan itulah yang selalu menyambutku dirumah sepulang dari kampus) pertanyakan singkat dari Mbak Lidya.
"InsyaAllah lancar mbak" (sahutku dengan akrab).
"mbak... Lean istirahat langsung kekamar ya" (sambungku sambil berjalan menuju
kamar tidur).
Jam dinding masih terdengar pelan, kotak musik diatas meja rias masih menyuarakan
kisah percintaan klasik yang tak pernah membosankan, sengaja aku nyalakan. Aku sudah
berganti seragam, mengenakan baju rumahan untuk menuju lautan mimpi yang kembali ingin
kulanjutkan.
Tetapi ada logika yang masih belum kurampungkan. Mata mulai kupejamkan,
mengobrak abrik logika untuk kembali mengingat dan memastikan bahwa lelaki itu bukan
orang asing yang harus ku khawatirkan. Kenapa aku masih belum bisa mengingat dimana
wajah tirus dan tulang pipi yang tinggi serta lesung pipi kecil dibagian kirinya itu aku
temukan?. Wajah itu sangat tidak asing bagiku. Bisa saja wajah itu terlihat tidak asing karena
aku pernah berpas-pasan dengannya atau bahkan ada kemungkinan lain yang tak bisa kuingat
meskipun harus berlogika lama.
" Le... mbak Yu masuk njeh" (mengetuk sambil membuka kamarku)
" Iya mbak" (sahutku singkat).
Tak biasanya kami mau bercerita panjang lebar hanya berdua, bahkan untuk bercerita
hal remeh sekalipun. Bisa saja malam ini mbak Lidya mengeraskan hati dan langkahnya
untuk mau bercerita denganku, sekedar berbagi gelak tawa. Terkadang sesekali sembari
bercerita mbak Lidya selalu menggenggam tangan mungilku dan bahkan memelukku seolah
tak ingin melepas dan berjauhan denganku. Aku merasakan detak jantung yang seakan
kencang bergejolak seperti cinta yang sedang dirasakan. Ada banyak hal yang aku tangkap
dari gayanya bicara, permainan bola matanya, senyum yang sesekali ia simpulkan dan
mempesona, wanita setiaku sedang jatuh cinta.
" apa yang harus mbak lakukan Le? jika ini cinta, do'akan hati mbak jatuh pada lelaki yang tepat ya Leandra ku..." (sembari memelukku lagi dan terus saja lagi)." Lean selalu mendo'akan orag yang Lean cintai dan sayangi mbak..." (sambungku
dengan senyum merekah untuk meyakinkan mbak Lidya).
Tidak ada yang salah ketika cinta itu datang dan mulai merekah, hanya saja diri sering
salah memaknai hingga kalah dibuat nafsu birahi. Obat dari jatuh cinta adalah menikah,
melabuhkan dua hati dalam satu bahtera untuk menggapai ridha Illahi. Tidak perlu terburuburu
karena cinta adalah persoalan pilihan yang dipilihkan-Nya, sebab seseorang pilihan-Nya
jauh lebih baik seseorang pilihanmu sendiri.
Aku tidak perah meminta mbak Lidya untuk menceritakan siapa lelaki yang telah
membuatnya jatuh hati, karena tidak semua orang bisa berbagi apalagi perihal hati. Setelah
beberapa lama bercerita, mbak Lidya pun meninggalkan ku kembali sendiri. Setidaknya
ceritanya tadi mampu membuatku lupa dengan ingatan tentang lelaki itu tadi. Sudah
waktunya aku melanjutkan mimpi.
Mimpi itu harus kuusaikan, sebab sudah waktunya aku merapal setiap permintaanpermintaan
dan melambungkan segala asa ke 'arsy yang diaminkan oleh seribu malaikat. Ada
satu permintaan yang selalu kurapalkan, agar kelak jika sudah waktunya tiba, cinta yang
sudah dipilihkan-Nya hadir menjemputku untuk bersama meraih Ridha-Nya.
Minggu pagi itu, aku memilih menghabiskan waktuku dikamar. Bergelut dengan
semua kata dan tulisan. Hari ini adalah hari istimewa yang akan menjadi hari bahagia untuk
Lidya Fatim, perempuan yang sudah kuanggap kakak kandungku sendiri, sebab lelaki yang ia
ceritakan padaku akan tiba dirumah hari itu. Paman Salim beserta istrinya tante Firma sudah
tiba dirumah, yang sebelumya terbang dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta menuju Bandara
Abdul Rachman Saleh Malang. Meski lelah, mereka masih saja sibuk menanyakan diriku
yang masih belum mereka temui sejak tiba dari shubuh tadi. Tante Firma sangat
menyayangiku dan mbak Lidya.
Terpaksa aku harus menuntaskan imajinasiku untuk menuliskannya di layar
komputerku waktu itu, menyambut kedua orang tua penggantiku yang begitu merindu.
Semuaya telah usai, telah rapi dengan pakaian tebaiknya masing-masing, namun tetap saja,
aku masih dengan kemeja tidur lengan panjang yang kupasangkan dengan rok span berwarna
coklat tua, kerudung bulat dengan motif volkadot kecil diseluruh bagiannya. Sungguh, Lidya
begitu mempesona benar-benar menyambut tamu agungnya dengan dandanan istimewa,
terusan hitam dengan payet warna keemasan dilengan dan ujung kakinya, dibalut kerudung
motif bunga-bunga.
Aku tiak pernah membayangkan hari ini akan berjalan seperti apa, tersebab didalam
fikiranku masih ada satu wajah yang belum bisa kujawab dengan tepat teka-tekinya. Fikiran
itu masih bisa kukendalikan dan aku tak ingin ada satupun yang akan merusak dan
memertanyakan, fikiran apa yang sedang bersarang dikepalaku hanya dengan melihat raut
wajahku.
Takdir memainkan skenarionya dengan sempurna, bahkan tak ada satu insan pun tahu
dan menebak kisah apa yang akan terjadi selanjutnya. Bunga yang begitu mekar saja bisa layu
seketika jika takdir sudah memerankan laganya. Benar-benar indah, bahkan tak secarik
kertaspun bisa sempurna lukanya sebab lepas dari rekatannya jika bukan karena jalan takdir-
Nya.
Lelaki pemilik wajah tirus dengan tulang pipi tinggi dan lesung pipi disebelah kiri,
yang mengenalku melebihi diriku sendiri, menyebut namaku lengkap. Ia telah berdiri tepat
dihadapanku, tersenyum kearahku dan kembali untuk menyebut namaku, Leandra Putri
Khasim wanita penikmat senja. Fikiran, dan semua pertanyaan yang kulogikakan seakan
terjawab dan tak ingin aku mengusiknya lagi, bahkan sekalipun mata tak ingin kukedipkan
melewati rona wajah yang ada didepanku. Lelaki yang telah berjanji akan mejagaku hingga
kelak ajal menjemputku dihadapan keluargaku tepat 15 tahun lalu, iya saat usiaku 7 tahun dan
dia 12 tahun.
Tapi maaf, ada hati yang tak ingin kupatahkan, ada asa yang tak ingin aku selesaikan,
dan ada bunga yang tak ingin aku tumbangkan. Lidya Putri, perempuan yang telah kuanggap
kakak kandungku sendiri telah menaruh hati pada lelaki yang sudah terlebih dahulu kukenali.
Aku rela mengahancurkan harapanku sendiri demi membangun harapan lain untuk
kebahagian orang yang kucintai, aku rela mematahkan hati untuk kakak perempuan tak
sedarahku. Kubiarkan takdir kembali menjalankan perannya, dan kuanggap kisah ini telah
usai. Karena setidaknya aku masih dengan senja yang setia.

Leandra dan SenjanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang