Dea berangkat sekolah diantar kakaknya hari ini. Masih menggunakan kruk. Hari ini ujian semester. Dia masuk sekolah dan langsung ujian semester. Setelah sampai di depan gerbang, Dea berjalan pelan dengan kruk. Saat selesai finger absen, pundaknya ditepuk, itu Zahra, teman sebangkunya
"Ya ampun Sasa. Gimana bisa kaya gini?" Tanya Zahra panik sambil mengambil tas Dea yang dia sampirkan di lengan kirinya
"Biasa namanya juga atlet"
"Lama gak masuk sekolah ternyata kaya gini ya. Gue pikir masih ikut pertandingan"
"Enggak. Udah selesai 2 minggu lalu. Tapi yaa gini"
"Dan lo gak masuk sekolah 3 minggu langsung Ujian Semester. Yakin lo?"
"Yakin lah" kata DeaMereka segera menuju ke depan kelas. Dea agak kerepotan naik ke tangga menuju teras kelasnya. Zahra lari ke depan kelas. Wahyu dan Andre lari dari depan kelas menuju tangga untuk membantu Dea
"Makasih ya" kata Dea kepada Wahyu dan Andre setelah Dea selamat sampai di teras depan kelasnya. Mereka duduk di depan teras menunggu bel masuk ujian
"Lo cidera De?" Tanya Wahyu
"Iya"
"Kok gak ngasih kabar sama kita2? Tau gitu kan kita jengukin"
"Halah cuma gini doang" kata Dea
"Apa lo bilang? Gini doang? Sampe lo ga bisa jalan lo bilang gini doang? Gila lo ya?" Nada Wahyu agak tinggi
"Resiko Yu" jawab Dea
"Lo masih yakin mau lanjut badminton setelah keadaan lo sekarang?" Tanya Andre serius dan Dea hanya mengangkat bahunya
"Saran gue sih mending vakum dulu De. Sambil lo pikirin mateng2" kata Wahyu dan Dea mengangguk🏸🏸🏸
Dea sudah agak bisa jalan kaki tanpa menggunakan kruk. Dan selama dia sakit ini selalu diantar Endi ke sekolah, lebih jarang ketemu Rian karna tidak bisa di antar jemput dan pasti sudah tidak bertemu di klub. Di satu sisi Rian pindah ke Jaya Raya di sisi lain memang Dea sudah vakum latihan. Dea masih duduk di teras depan rumahnya sampai pundaknya ditepuk, Dea menoleh, itu Bapak
"Kok ngelamun?" Tanya Bapak
"Enggak pak" kata DeaBapak segera duduk di kursi samping Dea. Hening
"Keputusan ada di tanganmu dek" kata Bapak tiba2
"Keputusan apa sih pak?" Tanya Dea dan Bapak hanya mengulas senyumanHening lagi
"Bapak tau sampai sekarang kamu tetep bertahan main badminton karna bapak kan?" Tanya Bapak sambil menatap Dea "Dek. Kejar apapun yang memang jadi mimpimu. Bapak gak menghalangi"
Dea tidak menjawab. Hanya menunduk menahan tangisnya
"Dek. Sudah cukup rasanya kamu bertahan buat bapak" kata Bapak sambil menepuk lengan Dea
"Maafin Sasa pak" kata Dea sambil terisak
"Ngapain kamu minta maaf?"
"Dulu waktu kecil bapak ngajakin Sasa main badminton, Sasa betul2 suka pak. Sasa menemukan kebahagiaan yang bapak bagi lewat badminton, sampai Sasa bertahan sejauh ini. Apalagi sempat denger cerita bapak dulu pengen jadi atlet badminton tapi gak dibolehin sama kakung, ada satu hal dalam diri Sasa yang buat Sasa harus wujudin mimpi bapak. Tapi seiring berjalannya waktu, Sasa merasa impian terbesar Sasa bukan main badminton pak. Ada hal lain yang pengen Sasa kejar. Dan gak mungkin sejalan sama badminton. Salah satu alasan terbesar Sasa main badminton itu bapak....."
"Berarti alasan kamu berhenti main badminton juga harus karna bapak. Dek, berhentilah. Bapak betul2 mau kamu berhenti" kata Bapak tulus
"Bapak gapapa?"
"Bapak justru akan marah besar kalo kamu memaksakan diri dengan keadaanmu sekarang. Bapak sayang sama adek. Bapak gakmau adek kenapa2" kata Bapak lagiBapak tersenyum dan mengusap air mata Dea
"Makasih pak" kata Dea sambil memeluk Bapak
"Bapak bangga punya anak kaya adek. Sangat bangga. Apapun mimpimu kejar dek. Bapak tau rasanya mimpi kita dihalangi, dan bapak gakmau jadi penghalang mimpi2mu. Udah masuk ke kamar sana" kata Bapak kemudian Bapak masuk ke dalam rumah
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kemarin (Rian Ardianto)
RomanceJika memang aku boleh mengulang kisah, aku ingin memperbaiki apa yang pernah aku perbuat padamu. Aku menyesal, pernah meragukanmu -M Rian Ardianto- Jika memang aku boleh mengulang kisah, aku ingin berhenti mengharapkanmu. Aku menyesal, sampai detik...