Bab 18 | Berkunjung ke Masa Lalu

86 11 0
                                    

     Listi terdiam membeku. Perumahan di hadapannya kini sangat indah, pohon-pohon besar di sepanjang jalan seolah menjadi perisai untuk kehidupan di sekitarnya agar tidak terkena sengatan matahari.

     Sudah lama Listi tidak berkunjung ke rumah ini. Rumah yang meninggalkan banyak kisah terdahulu mulai dari yang indah hingga yang paling buruk.

     Dan saat ini, ia melihat sebuah rumah dengan cat hijau muda kesukaannya yang berdiri kokoh tanpa terlihat tanda-tanda termakan usia. Tidak pernah berubah meski sudah ia tinggal bertahun-tahun.

     "Listi, buruan masuk! Kamu mau jadi satpam di situ?" Suara seorang pria tua membuat pandangan Listi teralihkan. Di sana, kakeknya berdiri sambil mengukir sebuah senyuman manis. Mengayunkan tangan sebagai isyarat untuk menyuruh Listi agar mendekat.

     Listi yang mengerti pun mengangguk. Ia mulai berjalan ke arah kakeknya lalu menjabat tangan keriput itu. "Kakek sehat?"

     "Alhamdulillah, Kakek sehat, Lis. Ayo masuk, bibimu sudah menyiapkan makanan."

     Listi mengangguk untuk kedua kalinya. Ia terus saja berjalan mengikuti langkah kakeknya yang membawa mereka ke arah meja makan.

     "Cebol sekarang udah gede ya?"

     Listi mendengus, kenapa ejekan itu selalu terdengar setiap dirinya berkunjung ke rumah sang kakek? Padahal Listi tidak terlalu pendek, dia hanya kurang tinggi saja, sungguh.

     "Kak Doni bisa diem? Bi, itu tuh Kak Doni ngeselin."

     "Doni! Listi baru aja dateng, jangan diejekin."

     "Iya, Ma. Ya udah sini lo duduk, berdiri aja kek patung."

     Gadis itu pun akhirnya duduk dan mulai mengambil makanan yang disukainya. Meskipun giginya terus mengunyah, pikirannya tidak bisa teralihkan dari sebuah rumah yang berdiri di ujung jalan tadi.

     "Kak, temenin gue keliling kompleks dong," pinta Listi saat melihat Doni yang sudah selesai makan dan hendak pergi menuju kamarnya.

     "Jalan sendiri, gue ngantuk mau tidur!" Listi menghela napas pasrah, kasihan juga melihat Doni yang tadi sudah rela menjemputnya dan seharian menemaninya membeli barang-barang untuk diberikan kepada sang kakek.

     "Listi nanti sama Bibi aja kalau mau jalan-jalan."

     Buru-buru Listi menggeleng. Ia tahu bibinya itu sangat sibuk dengan pekerjaan rumah, apalagi di rumah tidak mempekerjakan orang sebagai pembantu. "Nggak usah, Bi. Listi nanti pergi sendiri aja."

     Akhirnya bibi Listi mengangguk setuju. Beliau lantas pergi ke dapur untuk membereskan makanan mereka yang kini sudah berkurang lumayan banyak. Melihat sekitarnya yang sudah tidak ada orang, Listi pun memilih pergi ke suatu tempat. Ia ingin mencari petunjuk akan keberadaan seseorang, sudah lama ia tidak bertemu dengan ... Rani.

     Ia sangat rindu dengan teman masa kecilnya itu, setiap sore mereka bermain. Terkadang mereka bermain dengan Doni dan juga satu teman laki-lakinya. Tapi entah di mana orang itu sekarang, Listi tidak mau tahu juga.

     Jalanan di sekitar kompleks tidak terlalu sepi, banyak penjual keliling, ada juga anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran, bersepeda, bahkan duduk di atas karpet sambil bercerita satu sama lain.

     Semua pemandangan itu membuat Listi teringat akan masa kecilnya yang dulu begitu indah, seperti sebuah kesempurnaan. Dan sekarang kebalikannya, mungkin Listi sudah menghabiskan masa bahagianya di usia dini, hingga saat remaja gadis itu sudah jarang sekali mendapatkannya lagi.

     Di dekat Listi saat ini ada sebuah kedai yang menjual berbagai macam olahan tradisional. Hanya satu kedai itulah yang menjual makanan khas daerah, yang lainnya lebih menjurus ke makanan modern.

     Listi mencoba memanggil sang pemilik kedai, mengambil empat makanan yang dibungkus dengan daun pisang lalu membayarnya. Gadis itu memilih duduk sebentar di kursi dekat taman sambil menikmati makanan yang tadi ia beli.

     "Sendiri aja mbak, nggak sama temennya?"

     Sebentar. Listi agaknya kenal dengan suara itu. Ia pun mulai meluruskan pandangan. Dan saat itulah dirinya melihat seorang gadis cantik yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan menuntun sebuah sepeda berwarna hitam. Dia Rani.

     "Astaga Nini, gue kangen," ucapnya sambil berhambur ke pelukan Rani. Mendekap erat sarat akan rasa rindu yang selama ini mereka pendam, tak bisa dimungkiri, tetes demi tetes air mata juga ikut serta menyuarakan rasa bahagianya.

     "Gue juga kangen. Akhirnya kita bisa ketemu tanpa harus video call." Listi mengangguk dan melepaskan pelukannya. Ia menuntun Rani agar ikut duduk di kursi yang tadi juga sempat ia duduki.

     Rani tidak banyak berubah. Pipinya masih tembem seperti dulu, poni di dahinya juga tidak hilang, dan gigi depannya tidak juga tumbuh setelah terjatuh dari sepeda beberapa tahun yang lalu.

     "Gigi lo udah nggak bisa tumbuh ya?"

     "Ya enggak lah. Namanya juga patah, untung aja cuman setengah, kalo semua pasti gue udah pakai gigi palsu."

     Mereka terkekeh bersama saat mengingat betapa paniknya waktu itu. Rani yang terus saja menangis dan Listi yang malah bingung harus berbuat apa. Hingga akhirnya Doni dan temannya datang lalu membawa Rani pulang ke rumah.

     "Listi, lo udah tahu kalo Ardi pindah ke Jakarta?" Pertanyaan dari Rani sukses membuat Listi terdiam. Benarkah? Tapi di mana dia sekarang?

     "Ke-kenapa pindah?"

     "Selama di sini Ardi nggak pernah punya temen. Gue juga ikut musuhin dia waktu itu, tapi pas gue mulai sadar dia malah pergi ke Jakarta."

     Listi menoleh ke kanan saat merasa ada seseorang yang memerhatikan mereka. Namun di sana hanya terlihat penjual es krim dengan kerumunan orang yang hendak membeli. Mungkin perasaan Listi saja.

     "Lis."

     "Eh iya kenapa?"

     "Lo tahu di mana Ardi?"

     "Enggak."

     "Lo benci ya sama dia?"

     "Enggak lah. Itu semua kan bukan salah dia, lagian gue malah kangen udah lama nggak ketemu. Semoga aja gue bisa nemuin dia di Jakarta nanti." Rani menampilkan senyumnya dan mengangguk paham. "Kalo ketemu, sampein permintaan maaf gue ke dia ya, gue merasa bersalah banget."

     "Kalo nggak lupa."

     "Ish nggak boleh lupa dong."

     "Ya kan lupa nggak bisa diatur."

     "Listi mah."

     Listi terkekeh melihat raut wajah Rani yang sudah seperti anak kecil itu. Dia selalu saja gemas dengan tingkah Rani, padahal Listi sudah sering melihat Rani merajuk saat video call. Tapi, menyaksikan secara langsung, ternyata lebih terasa. "Iya sayang, Listi usahain buat selalu inget kok."

     "Aaa sayang deh."

     Mereka kembali berpelukan untuk yang kedua kalinya. Sungguh. Bertemu untuk melepas rindu adalah tindakan yang membuat hati menjadi lega. Saling bercakap dan bertukar cerita selama mereka berpisah tanpa harus menahan rasa ingin bertemu yang selama ini ditahan sekian lama.

Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang