"Lila itu mantan pacar kamu?" Widya memulai percakapan tepat setelah Farhan ikut duduk bersandar di kepala ranjang, di samping wanita itu.
"Hah?" Kedua alis Farhan sontak menyatu, berpikir siapa gerangan Lila yang dimaksud oleh Widya. Ketika paham ia manyahut ragu, "Maksud kamu Laila?"
Widya berdecak malas. "Dia akrab banget sama ayah, bunda, juga temen-temen kamu."
Farhan terdiam sejenak. Mendengar suara ketus Widya, bolehkah ia beranggapan istrinya itu sedang cemburu?
Berdehem sekali, Farhan menjawab tenang, "Oh, dulu Ayah dan Bunda selalu nengok resto saat baru-baru buka. Jadi memang akrab sama semua pegawai di resto, termasuk Laila." Farhan merutuki dirinya yang sempat gugup. Padahal ia harusnya tidak merasa bersalah. "Kalau sama Rasyid dan Imam, kami pernah satu kampus bareng," tambah Farhan.
"Dia cantik, ya. Bunda juga muji dia tadi. Berkerudung lagi. Tipe wanita idaman para pria, kan yang solehah gitu!"
Lagi-lagi Frahan menangkap nada tak suka dari kalimat barusan. Ia kembali diam. Takut jika ia merespon bakal membuat suasana hati Widya makin memburuk.
"Kok nggak jawab? Jadi bener, dia mantan ka—"
"Bukan," potong Farhan cepat. Bahkan terlalu cepat.
"Oh. Ya udah. Nggak perlu nyolot." Farhan melongo, memperhatikan Widya yang mengubah posisi menjadi berbaring, menyamping membelakanginya. Ia menepis pikiran yang sempat mengira bahwa sikap Widya itu karena cemburu.
Farhan pun ikut berbaring, menghadap punggung Widya. Cukup lama, ia menanti hingga dipastikannya Widya telah terlelap.
Perlahan, Farhan kembali duduk. Posisi Widya sudah berubah terlentang. Farhan memulai ritualnya tiap malam. Mengecup kening dan perut Widya serta mengusap perut tersebut. Beberapa minggu terakhir, ia juga menambahnya dengan membaca beberapa ayat Alqur'an yang dihafalnya ketika mengusap perut Widya. Tak lupa, Farhan juga mengajak ngobrol calon buah hatinya dengan cara berbisik supaya tidur Widya tak terganggu.
Hal yang tidak bisa dilakukannya ketika Widya masih terjaga, akan dilakukannya kala Widya tengah terlelap.
***
Widya sangat kesal. Sudah tiga hari nomor Raka tidak bisa dihubungi sama-sekali. Ingin ke studio Raka, tapi kekasihnya itu pasti akan marah. Untuk menghilangkan rasa kesal dan jenuhnya, Widya nekat pergi ke apartemen. Ia tidak peduli jika nanti ketahuan Farhan dan dimarahi pria itu, seperti yang terjadi terakhir kali. Ia pergi kesana menggunakan taksi. Kebetulan Pak Juki sedang tidak sehat untuk mengantar-jemputnya.
Sesampainya di gedung apartemen, Widya langsung naik ke lantai dimana apartemen Raka berada. Ia yang sudah memiliki kartu akses cadangan untuk masuk ke apartemen Raka langsung masuk ke dalamnya. Namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Raka disana. Tidak kehabisan akal, Widya menghubungi nomor kontak studio milik Raka dan menanyakan keberadaan pria itu. Baru ia ketahui, Raka sudah seminggu tidak datang ke studio karena ada urusan keluar kota. Urusannya apa, si pemberi info juga tidak mengetahui pasti.
Berbagai asumsi negatif langsung menyarang di kepala Widya. Raka keluar kota, tapi tidak memberinya kabar mengenai itu. Padahal seminggu yang lalu mereka masih berkomunikasi via videocall. Kalau urusan kerja, seharusnya pegawai di studio mengetahui jenis urusan Raka jika keluar kota.
Rasa kesal, curiga, dan kecewa membuat Widya lelah. Ia memutuskan istirahat sejenak di apartemennya hingga ia jatuh tertidur. Widya terbangun saat hari sudah beranjak sore. Widya baru sadar, ia harus pulang ke rumah Farhan. Berbeda dengan rumah papi, jarak apartemen dan rumah Farhan cukup jauh.
Widya baru sampai di rumah ketika hari sudah gelap. Malang, Widya melihat mobil Farhan sudah terparkir cantik di halaman depan. Artinya, ia harus siap menerima amukan Farhan yang kemungkinan marah besar karena ia keluar tanpa izin. Ditambah ia tiba di rumah saat hari sudah malam.
***
"Masih ingat pulang?" suara Farhan yang tegas dan rendah menyambut Widya saat masuk ke ruang tengah. Farhan sedang duduk di sofa. Tangannya terlipat di depan dada. Widya menelan ludahnya susah payah.
"Aku nggak masalah kamu pergi keluar rumah. Tapi, apa kamu nggak bisa hargai aku sebagai suami dengan meminta izin?"
"A-aku—"
Sial, Widya tidak bisa memberi bantahan apapun. Ia pun memilih menunduk dengan tangan saling bertaut, persis seperti bocah yang tertangkap basah oleh orangtuanya.
Kemana perginya otak cemerlang yang ia miliki ketika menghadapi Farhan? Batin Widya gusar.
"Kamu pakai apa itu?" Widya mendongak menatap Farhan bingung.
"Hah?"
"Setelah nggak izin, kamu juga nggak mau nurut kata-kata aku?" Widya yang tidak paham hanya memadang Farhan dengan tatapan bertanya.
Farhan berdiri dan melangkah mendekatinya, otomatis Widya mundur. Tapi, lengannya langsung ditahan oleh Farhan. Ia menolak saat Farhan mencoba membuka sepatu yang sedang dipakainya.
"Sudah aku bilang, kamu nggak boleh pakai sepatu ini."
"C-cuma tiga senti. Nggak akan ngaruh," bela Widya seraya menunjuk perutnya sendiri.
"Oh," Farhan bangkit berdiri. Widya menahan napas saat wajah Farhan maju dan berbisik di depan wajahnya. "Cuma tiga senti?" Suara khas Farhan yang penuh penekanan membuat Widya bergidik ngeri.
"Aku punya cara lain agar kamu nurut," tambah Farhan yang menarik salah satu sudut bibirnya sinis. Widya mengerinyit saat Farhan menjauh dan berjalan ke arah kamarnya. Widya mengikuti langkah pria tersebut.
Yang dilihat Widya lebih horor dari semua film horor yang pernah ditontonnya. Farhan memegang tempat sampah besar yang ada di kamarnya. Lalu sepatu high heels miliknya yang berjejer di rak lemari, satu persatu diambil Farhan untuk dibuang ke dalam tong sampah tersebut.
"Apa yang kamu lakukan?" teriak Widya. Ia melangkah mendekat, mencegah sepatunya yang lain diambil Farhan.
Widya melotot tak percaya saat melihat Farhan berhasil mengambil semua high heels tersebut. Tempat sampah berisi semua sepatunya itu dibawa Farhan ke halaman belakang, lalu dimasukkan ke dalam tong pembakaran sampah akhir.
Widya menatap sengit ke arah Farhan. Batinnya berteriak marah karena tak rela, matanya pun sudah berair. Namun Widya hanya menggigit bibir bawahnya, menahan agar air matanya tidak jatuh di hadapan Farhan.
"Aku benci kamu," teriak Widya marah.
Widya masuk kamar dengan membanting pintu. Di dalam sana, barulah Widya menangis. Farhan sangat keterlaluan. Kalau mau menyingkirkan semua sepatunya, pria itu tidak perlu sampai membuang semuanya ke dalam tong sampah untuk dibakar.
Toh sebelum dimarahi Farhan, Widya sudah memutuskan untuk tidak lagi memakai sepatu-sepatu kesayangannya itu sampai ia melahirkan. Ia merasakan kakinya cepat pegal setelah berjalan dengan sepatu yang tingginya hanya tiga senti tadi. Widya terisak cukup lama hingga jatuh tertidur.
Entah pukul berapa, Widya terbangun saat merasakan ada yang sedang memijit kakinya. Ia juga merasakan sesekali perutnya diusap pelan. Widya masih menutup mata, tapi tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar. Apalagi saat mendengar lantunan ayat Alqur'an serta bisikan yang masih mampu tertangkap oleh telinganya.
"Papa sayang kamu dan Mama. Sehat terus ya, Nak."
Bersambung.
Tinggalkan jejak vote komen ya
Makasiihh😸
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilar Hati
Любовные романыSpin off "Menuju Tiga Tahun" *** Farhan sudah menyangka semua akan berubah ketika ingatan Widya kembali. Namun tidak mudah baginya melepaskan Widya. Apalagi ketika Widya tengah mengandung buah hatinya. *** Awal publish : agustus 2019 Tamat : - -Ziti...