16. Bebas

210 26 4
                                    

👋👋👋

Sekian lama dianggurin, ada yang masih nungguin cerita ini?

Udah 2 eh 3 tahun kali ya.. sejak terakhir nulis disini, yah banyak kejadian yang buat aku hiatus, so..

Here I am!

Maaf ya buat readers yang udah lama nunggu cerita ini up tapi nggak muncul-muncul (hehe, pede banget yak merasa ada yang nungguin🤭)

Satu lagi, mohon maaf juga kalau part ini cukup pendek, karena aku harus latihan nulis lagi biar feel nya dapet.. dan untung aja aku gak lupa sama alurnya hahaha

Yang pada lupa, yook, balik baca dari part awal 😁

Happy reading!!😍

***

Peluh sudah membanjiri pelipis hingga leher Widya. Air matanya juga turut mengalir sejak pembukaan belum sempurna, sementara ketubannya sudah pecah. Widya sempat stress jika ia harus melahirkan secara caesar. Untunglah sebelum hal itu terjadi, dokter mengabarkan bahwa pembukaan telah sempurna dan persalinan bisa dilakukan secara normal. Ia mengikuti instruksi dokter yang menyuruhnya mengejan setelah mengatur napas beberapa kali.

Widya pernah mendengar bahwa melahirkan itu rasanya sakit. Tapi sungguh, ia tak pernah menyangka bahwa sakitnya akan separah yang ia alami saat ini. Ia pun teringat mami, sosok yang telah melahirkannya ke dunia.

Apakah beliau juga merasa kesakitan yang sama saat melahirkannya? Tentu saja Widya tidak pernah bisa bertanya dan mendapatkan jawabannya, sebab beliau sudah dipanggil Yang Maha Kuasa ketika ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

"Bibirmu jangan digigit. Nih, gigit lenganku aja." Suara tersebut menyadarkan Widya bahwa bukan hanya dia, dokter dan para asisten dokter yang berada di dalam ruang bersalin. Farhan, calon ayah dari anak yang akan lahir dari rahimnya juga setia mendampinginya sejak tadi. Maniknya memandang sayu ke arah pria tersebut. Ia merasakan tenaganya semakin menipis. Tidak ada hal lain yang dipikirkannya selain harapan agar bayi dalam perutnya segera keluar.

Lagi, dokter menyuruhnya mengejan. Telinganya menangkap ucapan asisten dokter yang menyebutkan kepala bayinya sudah keluar.

Widya kembali mengatur napas sebelum mengejan untuk terakhir kalinya. Suara tangis bayi kemudian memenuhi indra pendengarannya. Hanya sesaat karena perlahan kegelapan menyapanya. Sebelum terlelap, ia sempat mendengarkan bisikan Farhan di telinganya.

"Makasih, Love."

***

"Wajahnya cetakan kamu banget, Han," ujar bunda Farhan yang tengah menggendong si kecil yang baru lahir satu jam yang lalu. Sementara ibu sang bayi masih terlelap karena lelah usai melahirkan. 

Farhan hanya terkekeh ringan menanggapi bundanya.

"Nggak adil banget, ya. Padahal yang susah-susah mengandung sampai ngelahirin mama kamu, Sayang." Farhan mencibir kala bunda seolah mengajak ngobrol putranya yang pastinya belum mengerti apapun ucapan beliau.

Ya. Bayi yang baru lahir itu berjenis kelamin laki-laki. Dokter mengatakan bayinya lahir dalam keadaan normal dan sempurna, tanpa kekurangan satu apapun. Hal yang membuatnya mengucap syukur berkali-kali pada yang Maha Kuasa. Dengan suara bergetar, Farhan mengazani anak pertamanya.

"Oh ya, namanya sudah ada?" Pertanyaan dari papi membuat Farhan tertegun. Terkait nama, sebenarnya ia sudah menyiapkan satu jika anaknya yang lahir adalah laki-laki. Namun ia belum sempat mendiskusikannya dengan Widya. Entah mengapa wanita yang kini sudah menjadi ibu tersebut semakin menjaga jarak darinya, terutama menjelang perkiraan lahir. Wanita itu lebih memilih menghabiskan hari bersama bundanya, yang datang dua hari setelah hari perkiraan lahir disampaikan dokter. Bahkan saat tidur pun, Widya memilih bersama bunda dan meninggalkannya seorang diri.

"Kalau belum, mau kami yang mengusulkan namanya?" tawar ayah yang sebelumnya hanya terfokus pada bayi dalam gendongan bunda.

Farhan menggeleng. "Namanya Farid. Farid Pratama."

***

"Farid Pratama," ucap Farhan sambil tersenyum. "Bagaimana menurutmu?"

Belum mendapat tanggapan dari wanita yang sudah berubah status menjadi ibu tersebut, Farhan melanjutkan, "Aku sudah memikirkannya sejak pengajian tujuh bulanan. Ah, tapi jika kamu keberatan dan ingin mengubahnya-"

"Tidak. Itu saja. Dia anakmu, kamu yang berhak memberinya nama."

Widya berucap dingin. Melihat raut wajah istrinya, Farhan pun heran.

"Dia anakmu juga. Kenapa-"

"Kamu sendiri yang mengatakannya. Apa kamu lupa?" Potong Widya cepat.

Dahi Farhan otomatis berkerut. Ia sama sekali tidak paham arah pembicaraan Widya.

"Apa maksudmu? Aku tidak-" kalimat Farhan terhenti kala ia mengingat sesuatu.

"Hanya sampai anakku lahir. Setelah itu kamu bebas,"*

"Sepertinya kamu sudah mengingatnya," sahut Widya menatap Farhan yang terdiam dengan senyum miring.

Keduanya saling menatap dalam diam. Hingga Farhan memecah kesunyian itu dengan tanya.

"Lalu, apa yang kamu inginkan?"

Satu seringai terbit di bibir Widya. Ia menjawab dengan tegas, "Seperti yang kamu janjikan. Aku bebas."

Bersambung.

*Notes : ada di part 7

September 2022

Zitidi

Pilar HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang