13. Pasar Malam

340 80 21
                                    

     Malam ini Naufal sudah berjanji akan menjemputku jam tujuh pas, tidak kurang dan tidak lebih. Sebelum Naufal datang, Arkan sempat meneleponku untuk mengajakku ke pasar malam juga. Aku bilang saja kalau aku sudah mempunyai janji dengan seseorang.

“Lo jalan aja sama Susi, dia jomlo tuh!”

Nada suara Arkan seperti seseorang yang malas atau enggan mengajak teman baikku, Susiyana. Kalau gue sama Susi, entar dia macem-macem sama gue!” katanya.

“Kalau dia macem-macem, lo tinggal cium dia. Pasti dia langsung diem, alias seneng.” Aku menjawabnya semangat sembari menahan tawa.

Ah! Lo rese nih,katanya seperti orang bete. “Susi tuh jelalatan kayak ikan lele,

“Heh! Itu sahabat gue, tauuuk!

Dia tertawa. Aku tahu Arkan memang tidak menyukai gadis agresif seperti Susi, tapi sebenarnya Susi itu baik dan bisa menjadi teman tawa bersama.

“Udah ya, gue mau jalan. Bentar lagi dia jemput!” Aku segera menutup telepon sebelum Arkan bicara lagi. Refleks saja sih, karena sebentar lagi jam tujuh pas. Benar-benar pas, tidak kurang ataupun lebih.

Aku pergi ke ruang tengah untuk menunggunya sambil sesekali memainkan ponselku. Dan suara klakson sepeda motor pun muncul seketika, itu membuatku segera beranjak dari kursi dan pergi ke luar rumah.

Ku lihat Naufal berdiri di depan motornya, dengan kedua tangannya yang dia lipat persis di perut.

“Ibu nggak ada, jadi kita langsung pergi aja, ya?” ujarku saat berhadapan dengannya.

Dia hanya mengangguk, kemudian naik kembali di motornya. “Jangan malam-malam banget, ya!” kataku lagi saat mulai duduk di atas motor miliknya.

Lagi-lagi dia mengangguk, tidak ada jawaban panjang ataupun minimal mengucapkan sepatah kata IYA.

     Di perjalanan dia juga masih terdiam, entah apa yang sedang dia pikirkan. Atau mungkin dia hanya malas berbicara denganku? Hah! Justru seharusnya aku yang malas berbicara dengan dia, jalan-jalan ke pasar malam dengan dia, atau pada saat dia mengajakku pergi tadi siang.

Bisa saja aku tolak langsung, namun mulutku selalu kelepasan untuk menerima semua pemberian dia. Ini aku yang terkena sihirnya atau dia yang terlalu baik, sih?

“Lo kenapa diem aja, sih?” Aku memulai pembicaraan saat di jalan. “Sariawan gara-gara makan Mie Bakso?”

Dia tertawa kecil, “Kangen ya, ngobrol sama aku?” katanya percaya diri. Aku jadi menyesal karena sudah bertanya seperti itu tadi. “Supaya nggak kangen lagi, kita main sepuasnya di pasar malam.” lanjutnya.

“Tingkat percaya diri lo cukup tinggi, ya!” ujarku dengan nada agak kesal dengannya.

Aku lihat lagi, dia tertawa saat mendapat responku seperti itu. Selama di perjalanan kami memang tidak banyak membicarakan apapun, hanya terdiam fokus ke jalanan.

---0---

     Sesampainya di pasar malam, aku berjalan dengan jarak yang lumayan jauh, tidak dapat diukur dengan jengkal tangan. Aku kesal saja karena sikap Naufal tadi, itu sangat membuatku tidak nyaman. Dalam hatiku, aku selalu menggumam karena telah menolak ajakan Arkan.

Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang