Dua hari setelahnya, tidak ada yang terjadi. Sarada yang mendengar diagnosa dokter itu tetap bungkam dan tidak mengatakan apapun soal itu pada Hima.
Hanya berdoa dan menaruh harapan tinggi bahwa kabar bahagia itu bisa jadi penyelamat untuk rumah tangga mereka yang perlahan semakin retak.
"Hai Hima mau ikut makan bersama kami?" Ajak Chocho sembari merangkul bahu Hima, "Kita sudah jarang makan bersama loh."
"Terimakasih Chocho, tapi maaf aku tidak bisa."
"Loh kenapa? Kau sedang sakit ya?"
Sarada hanya terkekeh menanggapi sikap Chocho yang kadang pemaksa. Ia paham betul alasan Hima dibalik semua itu, ada suatu kehidupan kecil yang harus ia jaga.
Sebagai anak seorang dokter, ia sedikit-sedikit paham akan hal seperti itu.
"Ayo Hima ikut saja, kali ini aku yang pilih tempat." Sarada mengajak.
Hima akhirnya mau, karena ia yakin Sarada tahu segalanya. Mereka berjalan bersama menuju sebuah tempat makan yang telah Sarada pilih.
Sementara Chocho mengantri untuk memesan, Sarada dan Hima mendapatkan waktu sendirian di meja yang telah mereka tempati.
"Bagaimana keadaan mu Hima?"
"Baik, terimakasih telah bertanya."
"Ano .. kau sudah tahu soal dirimu kan?" Tanya Sarada, ia berusaha mencari kata-kata serta nada yang tepat untuk mengucapkannya.
Hima mengangguk, "Sudah, kak Inojin memberitahuku."
Sarada tersenyum dan memegang erat tangan Hima yang terulur di atas meja.
"Jaga kondisi mu oke? Tenang saja, aku ada disini bersamamu. Kalau butuh bantuan katakan saja padaku."
"Terimakasih, kau sudah banyak membantuku Sara."
"Itu gunanya teman bukan? Aku akan diam saja saat kau begini? Tidak bisa! Lagian, aku akan dapat imbalan dengan dapat bermain dengan keponakan kecil ku nanti, iya kan?" Goda-nya pelan. Tentu saja, agar tidak ada yang mendengar itu.
"Menikah dulu dengan kakak ku, baru anakku akan jadi keponakan mu!"
"E-eh?! Kok jadi merembet kesitu?"
"Bercanda hehe ... "
Sarada hanya mengangguk dan menoleh. Antrian masih panjang dan Chocho ada di belakang, mereka masih punya waktu sampai Chocho datang kembali membawakan pesanan mereka.
"Jadi kau tidak jadi bercerai kan?"
"Kakak berniat menunda kasus ini sampai aku melahirkan nanti."
"Eh? Kok begitu? Dasar kak Inojin sialan! Seenaknya meninggalkan anaknya begitu?!"
"Pelankan suaramu Sarada," bisik Hima pelan.
"Eh maaf," balasnya lagi.
"Tapi tenang saja Hima, aku yakin anak ini akan jadi jembatan untuk cinta kalian! Aku sangat yakin itu!"
"Maksudmu?"
"Berharap lah anak ini dapat membantu hubungan mu dengan ayahnya! Hei, keponakanku, berjanjilah pada Tante Sara bahwa kau akan membatu ibu mu untuk mendapatkan hati ayah mu ya?" Ujarnya seolah berbicara dengan anak yang dikandung Himawari.
"Iya Tante, tentu saja," balas Hima diiringi gelak tawa ringan bagai meniru ucapan sang anak.
"Makanan datang! Fiuh ... Akhirnya! Aku pegal mengantri tahu! Kakiku sakit sekali rasanya." Chocho datang dengan nampan berisi tiga mangkuk sup miso yang mereka pesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
FanficKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...