Meyra masih tampak sibuk di ruang kerjanya meskipun waktu sudah menunjukkan jam 17.30. Kedua tangannya bergerak lincah di keyboard komputer sambil sesekali pandangannya menoleh pada tumpukan berkas yang terletak di sebelah kanannya. Menjelang jam 16.00 tadi, tiba-tiba dia dipanggil ke bagian Tata Usaha. Kabar yang kurang menyenangkan, izin penelitian yang dia ajukan lebih dari seminggu lalu tidak mendapat persetujuan dari kantor pusat karena ada berkas yang harus dilengkapi. Akibatnya, besok dia harus meluncur ke Jakarta untuk melengkapi berkas itu jika ingin surat izin dari pusat segera turun.
"Hfff...kenapa juga, kantor pusat baru memberi kabar menjelang jam pulang," batinnya sambil melangkah kembali menuju ruang kerjanya.
Belum juga badannya menyentuh kursi, tiba-tiba handphone-nya berdering. Diliriknya sekilas sambil berdoa semoga itu bukan dari orang yang sedang tidak ingin ditemuinya. Namun rupanya nasib baik belum berpihak padanya. Voice call itu benar dari Bu Safania, bos-nya yang saat ini sedang berada di Perancis.
"Aaargh..." Meyra mendesah pelan sambil menatap handphone_nya.
Bimbang sesaat, sebelum akhirnya, "Halo, Bu Safa," kata Meyra setelah memencet tombol answer.
"Halo, Meyra. Saya baru saja dapat kabar kalau izin penelitian kelompok kita masih pending. Memang berkas apa yang kurang? Kok sampai seminggu lebih kita baru dapat pemberitahuan, ya? Biasanya cuma dalam dua sampai tiga hari, lo," terdengar suara Bu Safa yang langsung menanyakan masalah izin penelitian.
"Mereka minta beberapa item dalam RAB diubah, Bu. Dan saya lupa belum melampirkan CV peneliti di proposal yang saya titipkan Andi ke Jakarta."
"Lhoh...berkasnya kamu titipkan Andi, to?"
"Iya, Bu. Andi yang menawarkan, katanya sekalian dia mau mengurus kenaikan pangkat ke kantor pusat."
"Aduuh...Kamu ini gimana, to, Meyra. Sebelum berangkat, saya kan sudah wanti-wanti untuk mengurus berkas itu sendiri, kenapa juga kamu titipkan ke Andi yang dari dulu kerjanya nggak pernah beres? Pasti dia baru ke kantor pusat kemarin atau dua hari yang lalu, kalau kita baru dapat kabar revisinya hari ini. Padahal kamu tahu kan, kita butuh izin itu segera? Saya serahkan ke kamu, supaya kamu urus sendiri ke Jakarta. Memang apa susahnya sih, ke Jakarta sendiri?! Kalau kamu memang nggak sanggup, harusnya kamu bilang sejak awal. Bukan setelah setengah jalan seperti ini!" suara Bu Safa terdengar meninggi.
"Glek...", Meyra hanya terdiam. Sungguh, ini bukan sore yang dia inginkan. Tapi dia memang salah. Mestinya dia tidak begitu saja menuruti Andi saat menawarkan untuk membawa berkasnya ke Jakarta. Bu Safa benar, jika minggu lalu dia sendiri yang ke Jakarta, mungkin hari ini surat izin dari kantor pusat sudah di tangannya. Yah, penyesalan selalu datang kemudian. Dan sepertinya menyesal sekarang sudah tak ada gunanya karena Bu Bos telanjur marah-marah padanya.
"Ya sudah, kamu selesaikan hari ini kalau bisa," kata Bu Safa kemudian dengan suara yang agak melunak..
"Iya, Bu. Besok saya memang rencana mau ke Jakarta, supaya urusan ini segera beres."
"Oke, siip. Besok tolong saya dikabari jika ada sesuatu yang penting, ya."
"Baik, Bu," kata Meyta sambil mengucap salam sebelum menutup percakapan mereka.
Jam menunjukkan puluk 18.00 ketika Meyta mematikan komputer dan bersiap pulang. Capek sebenarnya, apalagi besok dia harus berangkat pagi-pagi ke kantor pusat. Tapi setidaknya dia lega karena berkas yang harus dibawanya besok sudah siap.
YOU ARE READING
Being a Researcher
ChickLitBagi Meyra, pindah kerja ke tempat baru dengan load pekerjaan yang cukup membuat sakit kepala, membuatnya harus beradaptasi dengan cepat. Tumpukan tugas dan pekerjaan yang diberikan oleh atasannya ditambah deadline yang susul-menyusul, kadang memb...