Prolog - Buku Harian Melia Cantika

2.5K 89 9
                                    

Sebelumnya, aku tidak punya pemikiran bahwa aku akan pindah ke Ibu Kota. Kehidupanku di kota pelajar sudah membuatku nyaman dengan suasana ini. Tapi tetap saja, setelah kematian ibu, aku harus pindah ke rumah Bibiku.

Aku tidak memilih untuk melanjutkan kuliah. Gelar Sarjana Muda bidang kriminologi sudahlah cukup bagiku. Walaupun sepertinya ilmu yang aku miliki tidak aku gunakan dengan baik, karena akupun belum mendapatkan pekerjaan. Paling tidak, mungkin bisa saja aku bekerja di kepolisian atau di satuan detektif swasta.

Masih sedikit trauma dengan kematian ibuku, karena beliau meninggal dengan cara yang tragis. Demi Tuhan! Bila aku tau siapa yang membunuh ibu, aku akan mencarinya dan membawanya ke jeruji besi.

Tunggal. Itulah posisiku sekarang. Tidak punya adik, kakak, ibu, ataupun lelaki yang orang-orang biasa sebut sebagai "Ayah." Seorang yang sangat kejam--yang meninggalkan ibu saat aku berumur 3 tahun. Nampaknya sudah 20 tahun aku memendam perasaan marah kepadanya dan akan terus berlanjut sampai waktu yang tak ditentukan.

-

"Akhirnya kau datang juga Melia", sambut Bibi Diah yang tampaknya sudah menungguku sedari pagi. Bibi Diah merupakah wanita paruh baya, sudah berumur 40 tahun tetapi masih terlihat anggun bagiku. Dengan rambut bergelombangnya yang pendek, serta posturnya yang tinggi membuat Bibi Diah terlihat lebih muda dari wanita sebayanya.

Bibi Diah tidak memiliki anak. Sang suami pergi meninggalkannya karena kecelakaan kereta pada 9 Desember 2013 silam. Ia tinggal sendiri--mungkin bersama seorang anak asuhnya yang ia temukan 5 tahun yang lalu di dekat jembatan tol. Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, hanya mendengar beritanya saat Bibi bermain kerumahku dulu.

"Iya. Tadi bus-nya sedikit telat dan aku sulit menemukan taksi."

"Tak apa, tak apa. Silahkan masuk. Ya itu diletakkan di sana saja. Iya di samping sofa. Yakin bawaanmu hanya itu saja? Tak ada yang lain? Baiklah. Apa kabar? Sudah 5 tahun Bibi tidak bertemu denganmu. Sudah dewasa kamu rupanya. Bagaimana sekolahmu? Sudah lulus? Oh begitu. Lalu bagaimana lagi? Cerita sedikit lah, Bibi penasaran."

Akhirnya aku ceritakan semua hal tentang diriku 5 tahun ini, termasuk saat aku harus mencari sumber karya tulisku ke Polda, dimana aku sangat tidak suka dengan sikap salah satu diantara mereka yang hidung belang.

"Aku turut berbela sungkawa atas kehilanganmu, Mel. Kau ingin istirahat ya? Ayo kita ke kamarmu. Tapi maaf, hanya ada satu kamar tersisa disini. Kamu bisa tidur bersama Adrian. Tidak-tidak, tempat tidurnya terpisah. Masih ada jarak diantara keduanya. Tapi berhati-hatilah, dia agak sulit diajak bicara."

Aku memasuki kamar yang dituju. Sebuah kamar bercat dinding biru dengan double bed yang dipisahkan oleh meja lampu ditengahnya. Jarak yang cukup luas ternyata. Cukup besar untuk dua orang. Aku kemudian menyenderkan ranselku di meja sebelah ranjangku dan aku langsung duduk di ranjang sebelah kanan. Di ujung kamar aku melihat seorang anak laki-laki berusia 17 tahun yang sedang duduk di meja belajar di samping ranjangnya. Dari mana aku tau dia 17 tahun? Seragam sekolah SMA berbadge coklat di bagian kantung dan dasi abu-abu yang tergeletak di atas ranjangnya, dengan buku tulis bertuliskan 'Adrian Saga, XI IPA C' yang sangat rapih.

Lamunanku menghilang saat tiba-tiba Adrian berlari ke arahku. Wajah Adrian sekarang berada 10 cm didepanku, seakan-akan ia ingin menciumku. Aku yang terkejut karenanya hanya diam. Tanpa kata. Kemudian Adrian mulai menggerakkan bibirnya.

"Lama?"

Aku bingung harus menjawab apa. Karena mungkin tempat ini akan menjadi tempat hidupku entah sampai kapan, maka dengan spontan aku menjawab "Iya."

"Sampai?" balasnya.

"Entah."

"Kenapa?"

"Ibu."

"Apa?"

"Tiada."

Dia lalu memundurkan wajahnya dan duduk di ranjangnya menghadapku. Ia mengacungkan tangan kananya kepadaku. "Adrian."

"Melia", jawabku sambil menjabat tangannya. Saat ku menjabat tangannya, aku merasakan hawa dingin yang berada pada dirinya. Hal yang sudah biasa kurasakan saat kuliah dulu.

"Maaf."

"Tak apa."

Adrian kemudian diam. Pandangannya kosong kearahku. Dengan rasa terintimidasi, aku kemudian mulai mengadakan pembicaraan. "Apa kabar?"

Adrian menjawab "Biasa."

"Bisa berkomunikasi?" tanyaku lugas.

"Pasti."

"Tidak. Maksudku, dengan kalimat lengkap."

"Buat apa? Tidak ada gunanya."

"Itu kau bisa"

"Kalau aku mau." Pandangannya masih dingin terhadapku. Kemudian Adrian mulai bertanya kembali. "Kuliah?"

"Iya."

"Bidang?"

"Kriminologi."

"Brilian!" Seketika Adrian menloncat kegirangan karena mendengar kata itu. Kemudian ekspresi dinginnya berubah menjadi ekspresi yang normal dan berkata "Selamat datang di kantorku. Semoga kau akan senang berada di sini, karena perjalanan akan segera dimulai." Adrian tersenyum padaku.

DEDUCTIONISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang