EMPAT PULUH LIMA

2.3K 118 2
                                    

Setelah berbicara dengan Agus beberapa waktu yang lalu, kini Maliq terlihat berbicincang serius dengan Jeremy. Sebisa mungkin, ia harus mendapatkan jawaban dari Alena atas lamarannya kemarin. Jika ingin maju ke medan perang, maka sang jenderal harus mempunyai senjata dan strategi, dan saat ini Maliq terlihat sedang menyusun strategi agar tidak ada penolakan besok malam.

Jeremy segera bergerak untuk menjalankan perintah tuannya begitu tuannya selesai membisikkan rencananya. Jeremy hanya bisa melebarkan senyum sinisnya tak kala mendengar rencana konyol tuannya itu. Siang ini Jeremy mengawasi setiap pergerakan Alena dan menunggu hingga saatnya tepat.


Alena's POV

Sore ini Alena berjalan ke halte bus yang akan mengantarnya pulang. Suasana halte ini terbilang sepi. Biasanya ia harus mengantri untuk masuk ke dalam bus namun kali ini ia hanya menunggu sendirian. Alena melihat langit mulai menghitam, itu tandanya hujan akan segera datang.

Alena melihat dua orang berpakaian hitam lengkap dengan kacamata yang berwarna senada. Alena tidak terlalu memperdulikannya karena jika kedua orang itu macam-macam dengannya, maka jangan salahkan Alena jika wajah mereka penuh lebam.

Alena melihat sebuah van hitam berhenti tepat di depannya, lalu beberapa detik kemudian pintu van itu terbuka. Terlihatlah seorang lelaki yang sedang menodongkan senjata tepat di hadapan Alena. Kedua lelaki yang ada dibelakangnya dengan sigap mendekat ke arahnya sambil menodongkan sesuatu yang Alena yakini adalah sebuah pistol.

"Masuk atau harus dengan sedikit paksaan nona manis?" kata lelaki yang ada dibelakangnya.

"Siapa yang menyuruh kalian!" tanya Alena dengan tegas.

"Masuklah nona, kau akan tahu siapa yang sudah memberikan perintah pada kami." jawab lelaki yang ada dihadapannya.

Saat Alena masuk ke dalam van tersebut, tiba-tiba hidungnya di bekap dengan kain yang mirip saput tangan yang diberikan aroma yang menusuk. Aroma tersebut membuat pandangan Alena buram sebelum ia pingsan. Alena sempat membaca istighfar sebelum menutup matanya dengan sempurna.

Beberapa jam kemudian, perlahan Alena mulai mendapatkan kesadarannya. Matanya mengerjap-ngerjap dan mencoba menggerakkan tangannya. Ia baru sadar jika posisinya kini tidak menguntungkan baginya. Bagaimana tidak? Tangan dan kakinya terikat di kursi kayu yang sedang ia duduki sedangkan bibirnya terbungkam dengan sebuah lakban hitam.

Ia melihat seorang lelaki berbadan tegap dan berkepala botak berdiri bersidekap di hadapannya. Lelaki tampan itu mempunyai sorot mata tajam seakan akan ingin menelan Alena hidup hidup.

"Senang akhirnya kau bangun dari tidurmu." ejek sang lelaki itu.

Mmmmmm ..... mmmmmmm

"Apa yang kau bicarakan babe? Aku tidak bisa mendengarnya." ucapnya sambil memegang telinganya.

Mmmmmm ..... mmmmmmm

"Ooohh aku lupa, biar aku buka penutup bibirmu itu," dan....

Sreeekkkk

"Aaaawwww!" pekik Alena.

"Who are you?" tanya Alena mendelik.

"Me? I'm your beloved." kata lelaki itu sambil menjulurkan tangannya memegang tangan kursi yang Alena duduki.

Duukkk

Alena membenturkan dahinya tepat di dahi lelaki itu hingga ia mengerak kesakitan.

"Brengsek kau, dasar jalang!" pekik lelaki itu.

Alena meronta di kursi itu untuk melonggarkan ikatannya selagi lelaki itu mengerang kesakitan. Alena berusaha untuk fokus dan mengeluarkan tenaga dalamnya, akhirnya dengan sekali hentakan tali yang mengekang tangannya berhasil putus.

Assalamualaikum My Beloved (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang