Dua Puluh Satu

4.4K 605 122
                                    

Setelah ini jangan kangen saya ya 😉

Happy reading 🤗

________________________________________________________________________

Savika tertawa kecil melihat Ervika terkapar. Cewek berambut pendek itu terlihat kepayahan setelah berusaha mengimbangi lari Abrar dan dengan asal membaringkan tubuhnya di jalanan beraspal.

"Sayang, jangan berbaring di situ! Kotor." Gavin berusaha menarik Ervika agar berdiri, tapi Ervika menepis tangannya. Ervika lelah dan satu-satunya yang ia inginkan hanya berbaring. Bodo amat meski di atas aspal. Gavin pun dengan mudah menyerah. Membiarkan pacarnya berbuat sesuka hati.

"Gini yang kemarin bilang mau ngalahin gue?" Abrar menendang kecil kaki Ervika di depannya.

Ervika terlalu lelah untuk membalas, jadi ia mengabaikan olok-olok Abrar. Ia sibuk mengatur napasnya yang masih putus-putus. Sementara Gavin yang jengah melihat pacarnya bertingkah seperti gelandangan, mulai mengusik Ervika lagi. Gavin kini lebih memaksa, mengerahkan kekuatan lebih untuk membuat tubuh Ervika bangun. Lebih baik Ervika menjadikan tubuhnya sebagai sandaran daripada berbaring di aspal.

Bosan melihat drama konyol pasangan Ervika-Gavin, Savika mengalihkan pandangan pada Abrar yang duduk di sebelahnya. Dilihatnya cowok itu telah menenggak habis minuman yang tadi ia berikan dan kini tengah membuka botol kedua—kali ini jus buah. Savika lalu bertanya, "Brar, siang nanti ada rencana?"

Abrar menelan tegukan pertamanya lebih dulu, baru kemudian menjawab, "Ada janji keluar ama temen. Kenapa?"

Savika menggeleng pelan. "Nggak apa-apa," jawabnya. Sebisa mungkin meyembunyikan rasa kecewanya. Mau bagaimana lagi? Abrar sudah lebih dulu punya janji.

"Nggak mungkin lo nanya kalau nggak ada apa-apa," ujar Abrar. "Kenapa? Mau ngajak gue ke suatu tempat?"

Savika tersenyum tipis. "Tadinya," ia menjawab. "Tapi karena kamu sudah punya rencana lain, ya sudah."

"Ke mana?"

"Ke rumahku."

Abrar mengernyit. "Kalau cuma ke rumah lo, kan bisa abis dari sini. Gue kan nganter lo."

"Bukan rumah Om dan Tante," balas Savika. "Rumahku sendiri. Uhm... rumah orangtuaku maksudku."

"Oh, yang lo bilang masih direnovasi itu?"

Savika mengangguk. "Semalam aku dikasih tahu Mama kalau kamarku sudah hampir beres, tinggal polesan terakhir. Jadi, aku diminta lihat dulu, sudah sesuai apa nggak dengan keinginanku."

"Sayang banget," keluh Abrar. "Gue juga sebenarnya pengin tahu rumah lo. Selama ini kan lo ngelarang gue mampir ke rumah Om dan Tante lo karena nggak enak sama mereka. Tapi gue udah janji ama orang lain, gimana dong?"

Savika tersenyum. "Ya, nggak apa-apa. Lain kali saja. Lagian rumahnya juga masih berantakan, kok."

"Bener, nggak apa-apa?" Abrar bertanya sekali lagi. "Apa perlu gue batalin aja?" Meski sebenarnya ia berat melakukan itu, tapi demi pacar tak apa, lah. Tapi kalau bisa, sih jangan.

"Nggak usah," sahut Savika cepat. "Kamu kan sudah janji duluan. Kalau kamu batalin, nanti dia kecewa."

Seandainya Savika tahu dengan siapa Abrar berjanji, mungkin ia tak akan berkata seperti itu. Sayangnya Savika terlalu naif. Ia tak sedikit saja curiga atau paling tidak bertanya ke mana dan dengan siapa Abrar akan pergi.

***

Salma menyambut kedatangan Abrar dengan senyum secerah mentari. Matahari siang tak begitu terik, sehingga Abrar hanya mengenakan T-shirt putih bergambar logo band indie favoritnya dipadu jaket jins hitam, celana jins berwarna senada, dan sneakers hitam putih kesukaannya. Sedang Salma mengenakan blus merah muda dengan lengan sepanjang siku dan skinny jeans biru tua, sebuah tas selempang mungil menggantung di bahunya, tak lupa membawa jaket karena ia harus naik motor. Rambut ikal panjangnya dibiarkan tergerai dengan sepasang jepit lucu di atas telinga.

April FoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang