Part. 18

3.8K 514 21
                                    

💖

“Ryan?”

Lelaki itu terlonjak kaget saat sebuah suara memanggil pelan dari samping. Ada Santi yang menatapnya bingung. Wajah Ryan mendadak gugup, ia meraup muka dan menghela napas pelan. Tersenyum simpul.

“Sedang apa kamu di sini?”

“Gak lagi ngapa-ngapain, Tante. Berdiri aja. Permisi.” Tanpa kata lagi, Ryan pergi meninggalkan Santi.

Santi menggeleng tak mengerti. Kemudian berjalan menghampiri Hasna yang masih duduk di tepi kolam.

“Mama?” Hasna menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekatinya.

Santi tersenyum dan ikut duduk di samping Hasna. “Maaf, ya lama. Beberapa hari Mama gak nyuci soalnya. Sibuk.”

“Mama nyuci sendiri?”

“Iya. Pakaian Mama sama Papa, Mama yang cuci.”

“Kenapa?” sahut Hasna cepat.

“Ya karena tugas Mama.”

Hasna mengernyit.

Santi tersenyum, seperti tahu apa yang dipikirkan Hasna, ia pun menjawab, “Mama kan gak ada kerjaan, Sayang. Lagipula, mencuci baju suami, Insya Allah berpahala.”

Hasna tersenyum dan mengangguk. “Di rumah, Hasna juga suka bantu Bunda nyuci.”

“Oh ya?”

“Hu’um. Berarti, Hasna boleh ‘kan, nyuci bajunya Mas Satria?”

“Jangan, Sayang. Biar Simbok atau Bibik aja yang nyuci.”

“Kenapa? Hasna bisa kok.”

“Iya, Mama tau itu. Tapi, Hasna kan belum hafal dengan seluk beluk rumah ini. Nanti kalau kenapa-kenapa gimana?”

Hasna tertunduk, lesu. “Maaf ya, Ma.”

“Lho kok minta maaf?”

“Hasna udah nyusahin Mama dan lainnya.”

“Ya Allah, Sayang. Gak ada yang merasa disusahkan. Kita ini satu keluarga, jadi saling membantu.”

“Ma?” Hasna kembali menoleh.

“Iya.” Santi mengelus lembut kepala Hasna.

“Jangan bilang sama Mas Satria ya tentang masalah tadi. Hasna takut Mas Satria jadi kepikiran.”

“Iya, Sayang. Mama gak akan bilang.” Santi tersenyum getir. Meraih tubuh Hasna dalam pelukan.

“Makasih ya, Ma.”

“Kita sholat dzuhur dulu, yuk? Terus makan siang. Setelah itu, jam dua nanti kita berangkat ke madrasah. Mau ‘kan?”

Hasna menarik tubuh dan mengangguk antusias.

💖

Di taman rumah sakit, Satria mengedarkan pandangan mencari seseorang. Pandangannya tertuju pada wanita dengan rambut pirang yang tergerai. Ia mengernyit dan melangkah mendekat.

Sempat ragu, tapi akhirnya ia tersenyum saat wanita berambut pirang yang duduk di bangku itu mendongak. Tersenyum dengan mata indahnya yang berbinar.

“Reinata? Astaghfirullah, aku hampir gak ngenalin tadi.”

“Oh ya? Cuma karena rambutku yang berubah, kamu udah gak ngenalin?” Mata Reinata menyipit dengan senyum ditahan.

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang