Tersiksa

30 6 0
                                    

Buagh!

Pelipisku kena hantam sebatang sapu ijuk. Aku terduduk lemas. Tak kuat lagi merasa 'sok tegar' di hadapannya.

"Kan mamah udah bilang, jangan nulis lagi! Buang-buang waktu tau gak?! Mending nyuci kek, apa kek, bantuin beres-beres rumah gitu!" Wanita paruh baya di hadapan menghardikku begitu lantangnya. Secuil iba tidak ada sama sekali di dalam semua omongannya.

Aku hanya meringis.

"Ini anak dibilangin malah diem! Jawab!" Diangkatnya sapu ijuk. Siap untuk memukulku lebih keras lagi.

"I-iya," jawabku lirih.

"Dari tadi kek! Sekarang cuci baju sono, numpuk! Adek lu mau make baju barunya!" Sapu ijuknya dilempar dengan kencang ke arahku. Lalu, ia pun melangkah pergi.

Kubereskan segera benda-benda yang berserakan karena keributan tadi. Aku cuma bisa menangis dalam hati. Sudah menjadi kebiasaan.

Oh iya, wanita tadi adalah ibu tiriku, atau istri kedua ayahku. Ayah menikahinya lima tahun pasca ibu kandungku meninggal. Sebelumnya ia hanyalah janda miskin dengan satu bayi.

Ia menjadi sangat sensitif semenjak beberapa bulan yang lalu, ketika ayah meninggal. Semua kekesalannya ditumpahkan padaku.

Ah, daripada aku terus mengoceh, lebih baik lekas cuci semua bajunya dan berangkat sekolah.

***

"KAMU MAU KE MANA?" Lagi, ibu tiriku menghardik.

"Sekolah, kan sekarang hari selasa. Aku masuk siang," tuturku.

"Enak aja!" Wajahku tertampar. Sakit sekali. "Ibu mau arisan, kamu jaga rumah!"

Setelah berkata lantang seperti itu, ia ke luar dan mengunci pintu.

"Ibu ..."

Suaraku bergetar. Aliran bening mengalir pelan dari mataku. Tak terasa. Tubuh ini terlalu banyak menerima rasa sakit.

"Ah!"

Mengapa aku menjadi cengeng begini? Padahal, aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi.

Kutumpahkan saja semua kesedihan ini pada secarik kertas diary yang dibelikan ayah dulu.

Aku rindu orangtuaku ...

Belenggu ini sangat menyiksa.

Cermin dalam DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang