6. JIWA YANG TERHUBUNG

711 80 4
                                    

Kepulan asap terlihat memenuhi sebuah ruangan pemandian. Dalam ruangan pemandian tersebut terdapat kolam pemandian yang berukuran besar. Hanya tersisa sebagian sisi yang bukan bagian dari kolam. Air kolam tersebut berwarna merah serupa darah dengan buih-buih mendidih, semilir angin mengantarakan bau amis darah yang sangat pekat. Di atas kolam, tirai putih terpasang rapi dengan warna putih yang sangat kontras dengan air merah darah dalam kolam.

Pintu terbuka dengan beberapa dayang bergaun putih memasuki ruang pemandian dengan nampan yang masing-masing terisi benda-benda keperluan pribadi.

Mereka berbaris rapi di sekeliling kolam. Seorang dayang yang berusia paruh baya maju beberapa langkah ke pinggiran kolam dengan patuh menundukan kepalanya.

Tak lama kemudian, suara deburan air bergolak memunculkan sosok gadis yang sangat cantik dari tengah-tengah kolam. Rambut coklat panjangnya basah menempel di sepenjuru lekuk tubuhnya yang sempurna. Matanya tertutup namun terlihat awas mengawasi sekelilingnya. Perlahan mata itu terbuka menampakan kilau hijau bola mata bak zamrud yang sangat langka. Putri Yeva. Sang pewaris tahta Pulau Suci.

Putri Yeva memandang dayang-dayangnya satu persatu. Ia kemudian menghembuskan napas dengan kesal saat tak melihat salah satu dayang dari kediaman Ratu. Raut wajahnya mengkerut kesal. Dihentakkan kakinya sebelum kemudian naik ke permukaan.

Seluruh dayang dengan sigap menghampiri Sang Putri, menyampirkan kain kering, mengelap rambut basahnya, menyeka beberapa bagian wajah dan tubuh Sang Putri dengan lembut dan telaten.

Tak ada ekspresi emosi apapun dari wajah Putri Yeva saat dayang-dayang tersebut melakukan tugasnya. Bahkan para dayang terkesan takut sehingga semuanya bersikap mengunci mulut. Mereka sangat tahu tabiat Sang Putri. Kesalahan sedikit saja nyawa mereka bisa menjadi taruhannya.

"Minggir!" Sang Putri bergumam. Serentak tangan-tangan lincah yang sedang mendandaninya langsung terdiam lalu saling memundurkan langkah mereka.

Sang Putri menghela napas lalu dengan setengah berlari menjinjing bawah gaunnya ia secepatnya keluar dari kolam yang sangat ia benci itu.

Putri Yeva menggigit bibirnya dengan kesal. Matanya menyorotkan kemarahan. Beberapa dayang utama mengikuti di belakang dengan jarak yang cukup jauh seakan takut dengan kemarahan sang putri. Mereka tahu, jika sekarang mendekat tak pelak mereka akan menjadi korban kekesalan Putri Yeva.

Sudah bukan rahasia lagi, jika hobi Sang Putri membunuh para dayangnya adalah rahasia umum dalam istana Pulau Suci ini.

Putri Yeva berhenti melangkah. Kepalanya menoleh sedikit, melirik para dayang di belakangnya yang tengah menggigil ketakutan. Ia menundukkan kepalanya menahan rasa benci yang meliputi hatinya.

Ia adalah bahan tertawaan dan perbincangan para dayang-dayang itu.

Tubuhnya yang cacat harus selalu memakan korban dengan memeras darah dari para gadis suci untuk menutupi kecacatannya. Setiap bulan, ibunya menyuruh para bawahannya menculik dan membunuh sepuluh orang gadis suci untuk diperas darahnya. Darah gadis suci berguna untuk memperbaiki kecacatan tubuh Sang Putri meski hanya sementara. Ia selalu diharuskan berkubang dengan kolam darah menjijikan itu sampai bagian cacatnya menghilang.

Ibunya berjanji akan mencari darah obat yang entah berada di mana. Jejak gadis yang membawa darah obat itu tak pernah ditemukan. Sedangkan tinggal menghitung hari ia akan diboyong ke istana Mahadiraja Zarkan Tar untuk dijadikan permaisuri.

Mengingat Zarkan Tar, suasana hati Putri Yeva yang buruk sedikit lebih baik. Setidaknya, takdirnya lebih baik dari para dayang busuk itu. Meski ia cacat, ialah yang akan menjadi permaisuri satu-satunya Sang Raja yang dikenal dengan kekuatan serta keabadiannya.

THE DESTINY (TAKDIR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang