14. Di Perpustakaan

273 70 9
                                    

---0---

Hari ini aku pergi ke perpustakaan untuk meminjam sebuah buku yang akan menjadi teman bacaku di kamar. Biasanya, aku sering meminjam buku-buku fiksi remaja untuk aku jadikan bahan bacaan dan teman di setiap malamku di rumah.

Bukan apa-apa, aku hanya menyukai dunia literasi hingga terbang melayang—larut dalam angan-angan ceritanya. Tetapi, mungkin hari ini aku hanya ingin meminjam saja. Entah mengapa aku seakan ingin membaca cerita yang seolah-olah aku lah tokoh utama dalam cerita tersebut.

“Yang ini ya, Pak.” Aku menyodorkan buku cerita yang sudah aku pilih sedari tadi kepada Pak Yanto, penjaga perpustakaan. “Kalau nanti diperpanjang masa pinjamnya boleh kan ya, Pak?” tanyaku.

“Boleh Neng, tinggal ke sini aja.” jawab Pak Yanto.

Aku mengangguk sembari tersenyum. “Oke, nanti harus Pak Yanto ya, penjaga perpustakaan yang bakal terima Icha.” ucapku seakan ingin bercanda.

Ku lihat Pak Yanto tertawa, kemudian mengangguk. “Siap, Neng Icha!!!” katanya.

“Ya udah, Icha mau baca di sana. Mumpung masih ada waktu, hehe.”

“Di sini sampe pulang juga nggak apa-apa Neng Icha.”

“Ah, iya, nanti tinggal dapet hukuman.”

Pak Yanto tertawa, aku juga begitu.

Akhirnya, aku berjalan masuk kembali ke dalam untuk duduk di tempat yang telah disediakan sekolah untuk perpustakaan ini. Aku mulai membaca beberapa bait ceritanya, yang kemudian menopang dagu dengan tanganku. Mungkin itu adalah posisi ternyaman sebelum menemukan posisi yang lainnya.

“Sendirian aja, Kak?” tanya seseorang dari belakang. Dengan segera aku membalikkan pandanganku untuk melihat siapa dia, siapa yang telah berbicara kepadaku.

“Eh, Naufal, kenapa?” Seperti yang aku katakan, ternyata orang itu adalah Naufal. Aku tidak tahu mengapa dengan seiring berjalannya waktu, aku sering sekali bertemu dengannya.

Dia duduk di sebelahku dengan membawa satu buku, mungkin dia juga sedang membaca atau ingin meminjamnya untuk dia baca di rumah sepertiku. “Udah lama ya Kak, ada di perpustakaan?” tanya Naufal.

“Nggak lama, baru aja duduk.” jawabku singkat.

Dia mengangguk, “Kenapa sendirian?” tanya dia lagi.

Bukunya dia letakkan di atas meja, aku bisa lihat kalau buku itu adalah buku mata pelajaran bukan buku cerita seperti yang aku pegang saat itu.

“Aku temenin ya, Kak?” pintanya.

“Terserah.”

“Oh iya, semalem di peluk nggak?”

Aku mengernyit, memandangnya tak mengerti. “Apanya yang di peluk?”

“Boneka dari aku?”

Aku tertawa samar, dan mengingat tentang boneka yang benar-benar semalaman aku peluk hingga tertidur. “Aku seneng kalau boneka nya kakak peluk,” ucap Naufal tersenyum.

“Kan boneka nya yang gue peluk, kenapa lo yang seneng?”

“Boneka itu ngewakilin aku, jadi aku ikut seneng.” jawabnya.

Aku hanya tersenyum, kemudian kembali membaca cerita yang masih ku pegang dalam genggaman tanganku.

“Suatu saat bukan cuma boneka itu yang kakak peluk,” Ucapan Naufal membuatku menoleh ke arahnya, menghentikan aktivitas membacaku sejenak. “Tapi aku,” lanjutnya.

Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang