Part. 19

3.7K 486 41
                                    

💖

Hari berlalu berganti minggu. Beberapa minggu tinggal di rumah baru, membuat Hasna berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Meski apa pun yang dilakukannya seolah tidak pernah benar bagi Ambar, dan selalu menjadi bahan sindiran Nurmala.

Hanya malam yang menjadi ketenangan, karena saat itu ada Satria yang menemani. Menjadi penghangat dikala gundah hati. Menjadi penerang gelapnya sepi. Namun, tak pernah terucap sedikit pun keluh kesah, atau sekadar bercerita tentang hati yang tersiksa.

Hasna memilih diam. Takut menjadi beban, atau malah menimbulkan masalah baru. Hanya rengekan manja yang semakin hari, terlihat semakin menjadi. Seperti pagi ini ….

“Mas Satria kapan libur?” Hasna memeluk Satria dari belakang, saat suaminya itu tengah memakai kemeja siap bekerja.

“Besok lusa, Sayang. Kenapa?”

“Hasna pengen ditemenin ke rumah Bunda.”

“Lho, kemarin bukannya udah ke rumah Bunda sama Mama, ya?”

“Iya, tapi Hasna kangen lagi.”

“Nanti Mas bilang sama Mama ya buat nemenin kamu ke rumah Bunda. Atau, nanti Mas telepon Bunda suruh main ke sini.”

“Jangan!” tukas Hasna cepat.

“Lho kenapa?” Satria melepaskan tangan Hasna, memutar badan untuk melihat wajah istrinya.

“Gak apa-apa. Hasna hanya gak mau ngerepotin banyak orang,” lirihnya. Kemudian kembali merangkul tubuh suaminya. “Hasna pengen sama Mas Satria.”

Satria tertawa kecil, membalas pelukan sang istri lebih erat. Seolah sedang memberi kehangatan juga kenyamanan. “Akhir-akhir ini, Hasna sepertinya manja sekali. Hm?”

“Mas Satria gak suka ya, kalau Hasna manja.” Hasna merenggangkan pelukan, memperlihatkan wajah yang ditekuk sedemikian rupa.

“Nah kan sekarang kok jadi ngambekan? Mas Satria curiga ….” Satria menggantungkan kalimatnya. Menatap Hasna lekat, sebuah senyum tersungging di bibir dengan mata yang memancarkan binar.

“Curiga apa?” sahut Hasna dengan bibir mengerucut, sebal.

“Hasna sudah berapa lama gak datang bulan?” tanya Satria kemudian sambil memegang kedua bahu Hasna.

Hasna terlihat berpikir sejenak, kemudian menggeleng pelan. “Hasna lupa.”

“Ya Allah … masa lupa. Ya udah nanti pulang dari rumah sakit, Mas Satria beli test pack.”

“Test pack?” Dahi Hasna mengernyit, bola mata pucatnya bergerak-gerak liar.

“Iya. Semoga nanti hasilnya positif!” Satria tersenyum lebar, meraih tubuh Hasna dalam pelukan. Mendekap erat dengan binar wajah yang semakin merekah.

“Positif? Maksud Mas Satria … Hasna hamil?” tanya Hasna dengan polosnya.

“Iya, Sayang. Semoga Allah mempercayakan pada kita seorang bayi mungil dan lucu di tengah-tengah keluarga kecil kita.” Satria merenggangkan pelukan, menciumi setiap inci wajah sang istri. Penuh cinta dan kebahagiaan nyata, serta harapan.

💖

Sakit kepala membuat Hasna enggan ikut Mamanya ke pasar. Lebih memilih berdiam di kamar. Usai sholat dhuha, ia berdiri di depan jendela yang terbuka. Menyandarkan kepala pada sisinya. Termenung dengan berbagai macam pikiran.

Entah berapa lama ia bergeming di sana. Tanpa suara juga gerakan. Bayangan ia akan hamil dan memiliki bayi mungil, sempat membuat bibirnya tertarik sedikit. Namun, segera hilang saat gelap seolah membekap segala harap.

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang