"Kenapa, Roger?" Pandangannya bertaut denganku. Bingung terpancar dari sana. Juga menyejukkan hati.
Aku mencintaimu. "Ah, ga-gapapa ... cuma mau bilang, i-itu awas lantainya licin," gagapku begitu bodohnya. Ditunjuk tanda peringatan 'awas licin'.
"Oh, iya. Shelin hati-hati, kok!" Ia manggut-manggut gembira. Lalu, pergi meninggalkanku sendirian.
Sialan. Aku gagal, lagi. Cinta ini terlalu menumpuk jika tak segera dikeluarkan. Gelisah melihatnya bersama laki-laki lain. Bingung saat pipinya basah oleh air mata. Hanya bisa mengamati tingkah gadis manis itu dari jauh.
Ah. Aku bukan siapa-siapa. Sebaiknya lekas ke kelas. Bisa dikira gila ngomong sendirian di parkiran.
***
"Ro-roger ... bener suka sama aku?" lirih Shelin. Menatap mataku dalam-dalam.
"A-ah!" Aku gelagapan. "Iya, aku suka!" Kupejamkan kelopak mata. Tak kuat akan bagaimana responsnya nanti.
Senyum merekah dari bibirnya. "Iya, aku juga suka," balasnya seolah semua ini bukan pernyataan yang berarti.
"E-eh?"
"Sekarang, temenin aku pulang."
Rasanya seperti mimpi.
***
"Roger! Kan ... kan ... udah janji." Air mata Shelin turun. Ah, gadisku. Dia menangis.
Aku melepaskan cengkraman pada kerah baju Kevin. "S-shelin ...," lirihku. Menilik kedua pipi mungil miliknya.
Tungkai yang melemas ini memaksa untuk menghampiri seorang gadis di ujung jalan sana. Bibirnya bergetar. Tubuhnya mematung.
"Kenapa?" bisiknya. Nyaris tak ada udara yang keluar dari tenggorokan.
Aku menghapus air matanya. "Jangan nangis," jawabku lirih. Tak kuasa memandanginya seperti ini terus-menerus.
Ditepisnya tanganku kasar. "Cukup!"
Ah.
Kenangan yang indah.
Tapi tetap, namamu lebih indah. Kendati terukir di batu nisan yang menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin dalam Diri
RandomMerupakan kumpulan cerita mini yang saya buat dengan dinamika yang berbeda-beda di dalam alurnya. One shot, one kill! "Nak, dulu ... kiamat pernah terjadi sekali ketika Bapak muda," ucapku memecah sunyi di ruangan 4 × 4 meter. Remaja di depanku meng...