Siapa?

8 3 1
                                    

Dia masih di sana. Mematung di depan pagar rumah. Aku memantaunya sedari tadi dari jendela kamar yang sedikit berembun.

"YULI! TIDUR! UDAH MALAM!" Terdengar Ibu berteriak. Ya memang, jam menunjukkan pukul sebelas malam.

Ah, hiraukan saja orang itu. Nanti juga pergi sendiri. Kumatikan lampu kamar, lalu segera memejamkan mata.

"Ah!"

Sialan. Aku gak bisa tidur. Kepikiran terus. Kutengok lagi pria di luar.

Glek!

D-dia masih di sana. Tidak bergerak satu inci pun dari tempatnya berdiri sebelumnya. S-siapa?

Apa aku bilang aja pada Ibu? Tapi, dia percaya gak? Ah, pasti. Itu buktinya.

Eh?

Ketika aku ingin memastikannya sekali lagi. O-orang itu ... memang tak bergerak, tapi dia sekarang mengalihkan wajahnya ke padaku. Dengan ekspresi datar yang menakutkan.

Aku harus lapor ibu secepatnya.

Setelah kuyakinkan, Ibu akhirnya mau menengok 'orang itu' lewat jendelaku.

"Lihat deh, Bu!" Aku menunjuk jendela tanpa sempat melihat. Biar Ibu lihat duluan.

Ibu menurut. "Mana ah?! Gak ada siapa-siapa!" celotehnya sambil menyelidiki seluruh penjuru jendela.

"I-itu, Bu!" Aku mendekat. Masa Ibu gak lihat.

Lagi, situasi yang ganjil. Pria itu menghilang. Padahal, cuma lima menit yang lalu ia menatapku sebegitu seramnya.

"Sudahlah, Sayang! Mungkin dia cuma orang lewat yang gak ada kerjaan. Dia udah pulang kan sekarang." Ibu menyingkir. Sepertinya ia memutuskan untuk kembali tidur.

"Tapi, Bu ...."

"Apa kamu mau tidur sama Ibu?"

Aku menggeleng tegas. Kayak anak kecil kalau masih tidur sama orang tuanya.

Ibu tergelak. "Haha, sudah Ibu kira ... selamat tidur, Sayang!" Lalu, ia mematikan lampu kamar.

Hm, mungkin cuma orang gak ada kerjaan. Ibu ada benarnya.

Aku ingin menutup tirai ketika pria itu muncul lagi, tapi kali ini dia tak mematung.

Dia sedang memanjat tembok rumah. Sambil memandangiku datar, lagi ....

Aku tercekat. Seluruh tubuhku melemas. Masih memandangi pria itu beraksi. A-apa yang mau dia lakukan?

Drap!

Ia mendarat tepat di atas teras rumah. Di tangannya tergenggam pistol, entah jenis apa. Melangkah pelan-pelan ke pintu depan.

Jantungku memompa kencang. Bingung. Apa yang harus kulakukan?

Apa?!

Pintu depan terdengar terbuka. Ibu seharusnya mendengar itu. Jadi, ia pasti akan datang ke kamar untuk melindungiku.

Lima menit yang sunyi. Aku masih berharap Ibu datang. Ditambah rasa cemas yang menggunung.

Aku mendengar langkah kaki sedang menuju ke mari. Menaiki tangga pualam. Kedua kakiku terlalu lemas untuk mencari tempat persembunyian.

Cklek.

Pintu kamar Ibu sepertinya terbuka. Oh, pasti Ibu sedang menuju ke mari. Syukurlah.

Tak lama, langkah kaki menuju kamarku. Ibu datang, aku bisa tenang.

Cklek.

Sebuah kotak disodorkan melalui celah pintu yang dibuka sedikit. Lalu, pintu ditutup kembali.

Hah? Penasaran, aku segera menghampirinya.

"I-ini?"

Pandanganku seketika buram. Hah ... hah ... hah ....

I-ibu ... itu kepala Ibu.

Bruk.

'98

Cermin dalam DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang