Bab 1 - Ibu Kangen Yoga

161 6 2
                                    

Gerimis pagi hari di akhir pekan ini terasa begitu berbeda di telingaku. Bukan karena aku ada di dalam bus. Bukan juga karena aku sedang dalam perjalanan. Tapi seperti ada beberapa pesan tak tersirat yang datang berkali-kali dibawa oleh gerimis. Aku sudah mencoba untuk mengabaikannya, karena itu cukup menggangguku. Tapi percuma. Aku tetap tidak bisa menghilangkan beberapa pesan itu. Mungkin beberapa pesan itu mengandung harapan yang harus disampaikannya melalui gerimis pagi ini.

Mas Yoga... Ibu minta mas Yoga pulang akhir pekan ini. Ibu kangen sama mas Yoga. Begitu pesan whatsapp dari Anin adikku yang aku terima tadi malam.

Masih tadi malam. Tak lama langsung kubalas pesan whatsapp dari Anin. Iya, Anin. Akhir pekan ini aku pasti pulang. Hanya bisa kubalas singkat seperti itu, meski sebenarnya aku penasaran dengan rasa kangennya ibu ke aku, sampai sekarang.

"Ibu kangen aku? Apa aku nggak salah dengar?" tanyaku dalam hati.

Aku lalu membayangkan wajah ibu yang semakin menua. Beruntung ibu tinggal di lereng gunung Lawu. Suasana sehari-hari di pegunungan yang cenderung dingin tak begitu ganas membuat kulit ibu menjadi legam. Jadi penuaan ibu tidak begitu terlihat.

"Seberapa dalam rasa kangen ibu ke aku? Nggak biasanya ibu bilang kangen ke aku. Apa ibu lupa kalau aku biasa pulang tiap dua minggu sekali?" aku bertanya lagi dalam hati.

Aku senang akhir pekan ini dapat libur kerja hari Sabtu dan Minggu. Karena, aku dapat libur hari Sabtu dan Minggu setiap dua pekan sekali, dan dua pekan sekalinya lagi aku libur hari Minggu saja. Aku menengok keramaian di luar bus lewat jendela bus. Bus yang aku naiki belum keluar jauh dari terminal Purabaya, dan untuk sampai rumahku masih butuh waktu lima jam.

Rumahku ada di kelurahan Panekan, salah satu kelurahan di Kabupaten Magetan. Di rumahku ada ibu dan Anin, dan terkadang ada Wawan. Ayahku sudah meninggal ketika aku masih SMA. Anin adalah adikku yang sekarang duduk di kelas 1 SMA. Sedangkan Wawan adalah adalah anak dari Pak Manto tukang kebun keluargaku dulu. Sekarang pak Manto sudah tua dan hanya sering di rumah. Kalau hanya untuk mengurus kebun jeruk dan mengurus ternak-ternak di rumahku pak Manto masih kuat. Tapi Wawan sendiri yang menawarkan diri untuk menggantikan pak Manto.

Ah... tiba-tiba aku teringat dengan pak Manto dan segala cerita tentangnya. Pak Manto merupakan teman sekolah ayahku sejak SD. Ketika itu rumah ayahku dan rumah pak Manto ada di kelurahan Panekan juga, tak jauh dari rumahku yang sekarang kutempati. Seiring berjalannya waktu, ayahku dan pak Manto bekerja di Surabaya tapi beda tempat kerja. Entah karena apa, tiba-tiba ayah dengar kabar kalau pak Manto diberhentikan dari tempat kerjanya. Ayah dengar dari rekan-rekan kerja pak Manto kalau sebenarnya pak Manto tidak salah, hanya ada salah paham sehingga pak Manto diberhentikan. Rekan-rekan kerja pak Manto sudah hendak membantu agar pak Manto dapat kembali kerja, tapi pak Manto menolaknya. Pak Manto memilih kembali ke kelurahan Panekan, apalagi orang tuanya sudah semakin menua. Pak Manto ingin kerja apa saja di dekat rumah sambil merawat kedua orang tuanya.

Mendengar kabar itu, ayahku membuka tabungannya dan membeli sepetak tanah untuk ditanami pohon jeruk, supaya bisa dirawat oleh pak Manto. Nanti hasil panennya dibagi dua. Pak Manto mau. Rencana ayahku bersambut...

Awalnya memang hanya sepetak tanah. Lama-kelamaan tanah kebun jeruk semakin luas. Dan semakin lama ayah menikahi ibu yang sebelumnya sudah dikenalnya, lalu membeli rumah, lalu membeli lahan ternak ayam dan bebek di belakang rumah. Pak Manto pun semakin giat menjadi tukang kebun ayahku.

***

Setelah lima jam perjalanan di dalam bus, aku sampai di terminal Magetan, dan seperti biasa aku dijemput Anin naik sepeda motor. Tak banyak pembicaraan antara aku dan Anin dalam perjalanan dari terminal Magetan sampai rumah.

Flamboyan MerahWhere stories live. Discover now