Derap langkah infanteri menyeruak ruang-ruang udara. Suasana mencekam menyelimuti dua insan di ruang yang gelap nan sempit.
"Mah, Kimoy takut," gelisah anak laki-laki kecilku yang berusia empat tahun. Ia masih menggigil, kendati sudah kupakaikan dasterku untuknya.
"Jangan takut ya, kan ada Mamah," ucapku menenangkan si kecil. Tak lupa kuelus-elus punggung mungilnya.
"Move! Move! Cari terus!"
Drap!
Langkah-langkah itu terdengar menakutkan bagi kami. Aku tak tahu mereka siapa. Yang pasti, semua penduduk ditembak mati oleh mereka, dan hanya tersisa aku dan anakku untuk dinasibkan sama.
Dua jam. Namun, anakku masih saja menggigil ketakutan. Ada senang, juga sedihnya. Ia selama dua jam ini kedinginan--betapa tersiksanya dia. Senangnya, ia masih bernapas.
Aku harus mengorbankan diri. Ya, betul. Itu mungkin akan membuat anakku selamat. Soalnya, mereka pasti akan mencari semalaman untuk seorang nyawa yang mereka lihat tadi. Aku yakin itu!
"Kimoy, kamu tunggu di sini ya, Mamah mau ke luar sebentar."
Muncul di hadapan para infanteri itu cukup untuk membuat mereka percaya kalau hanya aku yang tersisa.
Wajah anakku yang pucat itu menggeleng. "Gak mau! Kimoy mau sama Mamah terus!"
"Sstt! Jangan keras-keras!"
"Mamah mau ke mana?! Jangan jauh-jauh sama Kimoy!" Ia menangis.
Melihatnya seperti itu, malah memantapkan niatku. "Setelah Mamah pergi, Kimoy di sini sampai pagi ya. Kalau udah pagi, Kimoy cepet-cepet pergi ke rumah Nenek."
Anehnya, anakku terlihat ceria. "Terus, Mamah bakal nunggu di situ ya?"
Oh ...
Aku mengangguk. "Iya, Sayang." Kuelus-elus rambut acak-acakannya.
Enggan berlama-lama, aku akhirnya merangkak ke luar.
Grep!
Satu kakiku dicengkeram. Aku menengok ke belakang.
"Mah, rumah Nenek." Si kecil berbisik. Aku tersenyum simpul merespons.
Namun, wajah anakku itu berubah lagi.
"Mamah kenapa?" tanyanya.
Awalnya, aku bingung. Tapi, segera disadarkan oleh aliran bening di kedua pipi. Oh, air mataku turun gak sengaja.
"Gapapa," jawabku berbisik.
Kulambaikan tangan terakhirku padanya. Ia membalas dengan lambaian juga, tapi wajahnya lebih ceria.
Fiuh, ke luar juga. Sekarang, aku harus ...
"ITU DIA! TANGKAP WANITA ITU!"
Gerombolan pasukan bersenjata itu menghampiriku dengan tergesa-gesa. Ada satu lagi yang sedang membidik senjatanya ke arahku.
Kulirik anakku di bawah jembatan, ia melongo diam tak percaya. Ah, pasti dia syok karena dibohongi oleh ibunya sendiri.
Maaf, Sayang.
Pergilah ke rumah Nenek.
"Ibu menyayangimu."
Dor!
"IBU!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin dalam Diri
RandomMerupakan kumpulan cerita mini yang saya buat dengan dinamika yang berbeda-beda di dalam alurnya. One shot, one kill! "Nak, dulu ... kiamat pernah terjadi sekali ketika Bapak muda," ucapku memecah sunyi di ruangan 4 × 4 meter. Remaja di depanku meng...