Nadia, Vina, dan Sefita kini sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan yang cukup ramai. Mereka hanya bertiga karena Listi sedang berkunjung ke rumah kakeknya, alhasil ia tidak bisa ikut.
Sebenarnya tujuan mereka di tempat ini hanya untuk mencari camilan, tapi entah kurang kerjaan atau bagaimana mereka sampai menghabiskan waktu dua jam hanya untuk berkeliling. Bayangkan saja, dua jam bukanlah waktu yang singkat.
Mendadak Vina berhenti melangkah. Mata gadis itu terus menatap ke segala arah hingga membuat kedua sahabatnya bingung sendiri. "Lo kenapa, Vin?"
"Kelilipan, udah yuk jalan."
"Eh bentar, gue mau beli es krim dulu di sana."
"Jangan, Ta."
"Kenapa?"
"Ya pokoknya jangan." Vina mendorong tubuh Sefita yang hendak berjalan ke arah di mana es krim itu terletak. Namun bukan Sefita jika pasrah begitu saja, dia balas mendorong Vina dengan sekuat tenaga agar gadis itu tidak menghalangi jalannya. Alhasil, mereka kini malah saling mendorong satu sama lain.
"Percuma kalian saling dorong, gue udah liat," lerai Nadia yang langsung membuat Vina membeku. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nadia saat ini. Terakhir kali waktu di pasar malam itu, Nadia sangat kacau. Apakah sekarang akan seperti malam itu lagi?
"Lo mau ngapain, Nad?"
"Jedotin tuh kepala cowok blangsak biar sadar."
Vina mulai panik saat melihat Nadia yang berjalan ke arah di mana sepasang remaja yang tengah berdiri di dekat lemari pendingin es krim sambil sesekali tertawa. Dia khawatir jika Nadia tidak bisa mengontrol emosi dan membahayakan dirinya sendiri.
"Vin."
"Apa?"
"Kok gue ngerasa bodoh banget ya."
"Sejak kapan lo pinter?"
"Ih, Vin, gue serius."
"Udah nggak usah dipikirin, gue tahu lo nggak lihat mereka tadi. Mending kita ke sana bantuin Nadia."
Vina lalu menarik tangan Sefita untuk menyusul Nadia, mengabaikan gadis itu yang sampai saat ini masih merasa bersalah atas tindakannya tadi. Vina tahu Sefita tadi tidak melihat keberadaan dua remaja itu, dan dia juga tidak menyalahkannya.
Di sana, Zena terlihat gugup. Untuk kali kedua ia tertangkap basah oleh Nadia jika sedang berkencan dengan gadis lain. Mungkin benar kata Regar waktu itu, dia tidak memiliki bakat untuk menjadi buaya darat.
"Hai, Zen."
"Eh lo apa-apaan deketin cowok gue!" bentak gadis di samping Zena tidak terima. Nadia berlagak kaget lalu memperlihatkan senyum manisnya. Setahu Nadia, gadis yang berada di samping Zena itu adalah pacarnya Regar—Hara—tapi kenapa dia bisa bersama Zena? Berdua lagi.
"Mbaknya jangan gitu ah. Zena sahabatnya Regar loh, kalian jalan gini dia tau nggak?"
Gadis itu bungkam. Sudah Nadia duga, mereka memang bermain di belakang Regar. Tapi ketimbang harus mengurus hubungan Regar dengan gadis itu, Nadia lebih memilih untuk mengurus hubungannya dengan Zena saja. Sebentar, memangnya mereka berdua punya hubungan?
"Zen, udah ya. Anggap aja lo nggak kenal gue begitu juga sebaliknya, makasih buat waktu yang singkat ini, gue nggak nyesel kok."
"Tapi Nad ...."
"Jangan kayak sinetron deh yang apa-apa harus pakai tapi-tapian, nggak usah dijelasin juga gue udah bisa mikir sendiri!"
Berakhir. Semuanya sudah bukan urusan Nadia lagi. Jika Zena ingin terus seperti itu biarkan saja, mereka sudah tidak ada ikatan. Memang sejak awal Nadia sudah diragukan dengan Zena yang tak kunjung memberi kepastian. Dan ternyata ini jawabannya, dia hanya senang bermain tanpa ingin berkomitmen.
Nadia pun memilih pergi dari tempat itu tanpa memedulikan kedua temannya yang masih setia menatap Zena dengan gadis di sampingnya. Sefita maju selangkah lalu memegang pundak Zena. Ia tersenyum sambil berucap, "lebih baik burik berotak daripada ganteng tapi nggak ada akhlak!"
Vina melongo mendengar ucapan Sefita. Dari mana bocah itu bisa mendapatkan kata-kata bijak? Sangat aneh.
"Nggak usah lebay napa Vin! Gue baru aja nemu di FB tadi pagi." Sudah Vina duga, mana mungkin seorang gadis gila seperti Sefita mampu menciptakan kata-kata bijak tanpa mengambil dari sebuah sumber.
"Lo sebenernya punya otak nggak sih, Zen? Yang lo gandeng sekarang tuh pacar sahabat lo sendiri loh, nggak malu?"
Zena diam. Pria itu sungguh tidak tahu harus berkata apa, melawan dua orang sekaligus? Oh ayolah, Zena menanggapi ucapan pedas dari Listi kemarin saja tidak bisa, apalagi menghadapi dua titisan macan sekaligus. Berbeda dengan Hara, sepertinya dia akan menyangkal ucapan yang tadi baru saja Vina lontarkan. Namun Zena buru-buru menarik tangan gadis itu hingga mereka menghilang entah ke mana.
"Lo tadi mau beli es krim kan?"
Sefita mengangguk menanggapi ucapan Vina. Sepertinya ia belum sadar di mana mereka berdiri saat ini. "Ya udah ambil, lo ngapain malah ngeliatin gue!"
Setelah sadar Sefita pun menggeser tutup lemari pendingin itu dan mengambil satu es krim rasa cokelat kemudian menggandeng tangan Vina untuk berjalan ke arah kasir. Mereka tidak tahu Nadia pergi ke mana, mungkin gadis itu sudah pulang duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RandomSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...