Twentieth Bloom

2K 272 53
                                    


[La Fleur]

“Kau senang?” Namjoon bertanya sambil memarkirkan mobilnya. Senyum tak ia lepas untuk menjaga keramahan di dalam mobil sepanjang perjalanan berdua bersama Jimin. Dirinya sendiri merasa sangat bersemangat dalam hati karena berhasil membawa Jimin tanpa masalah. Meski ia tak kalah cemas dengan kemungkinan sikap Jimin yang akan berubah tidak karuan. Sunghee sudah mengingatkannya berkali-kali bahwa Jimin adalah anak yang tidak terduga.

“Eum…” Jimin mengangguk mantap. Meski wajahnya tertutup syal tebal, kepalanya tertutup beanie maroon kesayangannya, tubuhnya dibalut dengan coat tebal pula, namun mata Jimin menunjukkan hatinya yang girang.

Namjoon mengajak Jimin untuk berkeliling dari section pertama. Melihat daftar “Wah! Aku paling suka suite itu, Paman! Kau tahu, mereka sangat keren ketika mengendarai robot itu.” Jimin mulai berceloteh tentang hal-hal yang tidak sepenuhnya dipahami oleh Namjoon. Mereka berjalan-jalan mengelilingi museum yang menyajikan berbagai macam koleksi robot atau figure-action dari tokoh game terkenal. Kebanyakan pengunjung tentu adalah penggemar fanatik game. Mungkin hanya Namjoon seoranglah yang sama sekali tidak paham dengan segala macam isi museum itu.
Hal yang paling tidak dilupakan Namjoon adalah pesan bahwa dirinya harus mengatur jadwal makan Jimin. Maka itu, setelah selesai berkeliling di lantai satu dan dua, Namjoon mengajak Jimin untuk rehat dan mencari restauran untuk mengisi perut. Namjoon tentu tidak lupa untuk menanyakan ingin makan apa Jimin. Jimin tidak terlalu repot untuk urusan makan. Ia menyerahkannya pada Namjoon.

Namjoon akhirnya membawa Jimin ke restoran yang sering ia kunjungi bersama Sunghee.
“Kau ingin milkshake?” Jimin menggeleng. “Ayah bilang, tidak boleh milkshake.”
Namjoon mengangguk-angguk. Kembali memilihkan menu untuk Jimin. “Kau ingin pizza atau pasta?”
“Eum… pizza saja. Sepertinya Hawaiian Pizza enak.” Jimin tercengir. Membuat Namjoon tersenyum lega karena akhirnya Jimin menentukan pilihan.
Namjoon mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja. Melirik ke Jimin yang memeprhatikan kampu-lampu kota yang indah. Sesekali Jimin membulatkan bibirnya. Takjub dengan pemandangan indah.

“Wah, indah sekali ya! Pemandangan kota. Aku ingin menunjukkan ini pada Ayah.” Jimin mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar. Namjoon tersenyum tipis. Sedikit tersikut dengan Jimin yang selalu menyinggung sang Ayah.

“Aku akan mengajak Ayah ke restoran ini. Ayah pasti belum pernah melihat lampu-lampu kota yang indah begini.” Jimin menggeser layar ponselnya. Memastikan hasil gambar yang ia ambil bagus.

“Ayahmu tidak pernah mengajakmu ke tempat seperti ini?”

Jimin menggeleng tanpa menoleh. “Ayah sibuk bekerja. Jadi, tidak pernah membawaku ke tempat seperti ini. Tapi aku bisa mengerti keadaan Ayah. Ayah bekerja keras untukku.” Matanya tertuju pada luar jendela. Masih takjub dengan kerlap-kerlip lampu kota.

Namjoon membasahi bibirnya. Bingung harus menanyakan apa lagi. Ia berdeham pelan. “Bagaimana dengan sekolahmu? Menyenangkan?”
Jimin mengedikkan bahunya. Ia memainkan garpu yang tersedia di atas meja. “Aku belum tahu. Sudah hampir dua bulan aku tidak masuk sekolah.”

“Dua bulan? Lama sekali.”

“Ya. Aku terlalu nakal. Ditambah lagi, akhir-akhir ini aku selalu masuk rumah sakit. Ayah malah akan meminta cuti ke sekolah selama setahun. Itu yang kudengar dari Bibi Hyebin." Namjoon mengangkat alisnya. Sedikit terkejut dengan penjelasan Jimin.

Keheningan menyergap mereka. Bahkan, setelah makanan mereka datang, senyap kembali menghampiri. Namjoon berdeham pelan untuk menghilangkan kecanggungan. Mencoba menarik perhatian Jimin yang mulai sibuk dengan makanannya. Meski sudah memainkan garpu di atas piringnya yang sudah berisi pizza, Jimin tidak kunjung memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.

“Tidak makan, Jimin-ah?”

“Aku akan makan, Paman. Hanya sedang mempersiapkan perutku. Hehe.” Jimin tercengir. Membuat Namjoon mengangguk paham.

“Paman Namjoon…” Namjoon menghentikan gerakann garpu dan pisaunya. Ia memperhatikan Jimin dengan seksama. Siap mendengar apapun yang akan Jimin katakan.

“Aku sakit.”

Namjoon tertegun mendengar pernyataan yang tiba-tiba itu. “Tapi… Dokter bilang kau sudah sehat, iya kan?”

Jimin menggeleng. “Paman Seokjin berbohong. Ibu dan Ayah juga berbohong. Aku tidak sehat. Tidak akan pernah sehat lagi.” Nada Jimin terdengar putus asa.

Namjoon meletakkan garpunya. “Jimin-ah… Kau harus optimis. Penyakit di dunia ini bisa disembuhkan. Sudah banyak teknologi dan dokter hebat yang berhasil menyembuhkan segala macam penyakit. Tidak ada kata tidak mungkin.”

“Aku rasa aku akan mati.” Jimin tidak menghiraukan motivasi Namjoon.

“Jimin-ah…”

Raut wajah Jimin yang tadinya ceria seketika berubah menjadi serius. Tidak ada senyum sabit. Tidak ada keceriaan. “Aku tidak sedang mengada-ada, Paman. Aku sakit dan akan mati. Kurasa Ayah, Ibu, dan Paman Seokjin sudah tahu pasti tentang hal itu.”

“Apa mereka mengatakan sesuatu padamu?”

“Mereka tidak bilang. Tapi mereka tidak bisa membohongiku. Aku tidak bodoh, Paman.”

Namjoon benar-benar dikejutkan dengan sikap Jimin yang begitu keras. Tidak salah jika Sunghee kesulitan untuk membujuk Jimin. Namjoon sudah melihatnya sendiri, dan jujur saja. Namjoon kehilangan akal untuk menghadapinya.

Jimin kembali mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat dirinya tengah berpejam di brankarnya. Ditemani oleh Ayah dan Ibu. Kebetulan Seokjin baru saja memasuki ruangannya. Jimin tidak sepenuhnya tertidur. Karena ia tiba-tiba merasa tidak nyaman di bagian punggungnya. Namun, mendengar suara Seokjin membuat Jimin mengurungkan niatnya untuk berbalik dan mengadu sakit. Ia memilih menahan sambil berpejam. Berusaha kembali tidur dengan sakit yang menyerang.

[La Fleur]

Aduh lagi pendekatan sama calon ayah tapi kok jadi begini, jiminie?  :(

Find more on the book
Yuk yuk ke Shopee wellafellas sekarang

Wella

[BOOK] La FleurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang