13.🎡-Bertemu pemilik rumah

110 48 11
                                    

🎡Dia berubah, entah sejak kapan. Dan bodoh nya, aku baru menyadari nya sekarang🎡

Pintu berwarna coklat menjulang tinggi membuat Alaska menelan ludahnya. Batin nya sudah berulang kali berdialog sendiri, bimbang, Alaska bimbang. Mengetuk atau tidak, apa pemilik rumah ada di dalam?, dan masih banyak pertanyaan yang berputar di otak Alaska.

Alaska mengurungkan kembali niatnya saat tangan nya sudah mau mengetuk pintu, ia biarkan tangan nya yang mengepal itu berhenti di udara. Lalu ia turun kan kembali. Ia memandang ke arah bawah, tepat ke arah kaki nya yang beralasan sepatu terus mengetuk-ngetuk lantai.

"Kalo lo ngetok juga nggak akan ada yang bukain." Suara itu menyeletuk tanpa sapaan, membuat Alaska terlonjak kaget di tempat.

Jantung nya berdegup kencang, di saat seperti ini Alaska merasa menjadi seperti maling sudah ketangkap basah akan mencuri sebelum memulai aksi nya. Alaska bergeming di tempat saat tepukan mengenai bahu nya, Kafeel. Kafeel terkekeh kecil, saat tangan nya mendarat di bahu Alaska. Bahu Alaska terasa kaku saat disentuh oleh nya.

Kafeel menepuk-nepuk bahu Alaska pelan, "Gue nggak gigit kok, suer. Jadi jangan tegang gini."

Kafeel maju dua langkah lebih depan dari Alaska, lalu ia merogoh saku celana nya, kunci beranak keluar dari saku celana Kafeel. Kafeel memasukan kunci ke grendel gagang pintu. Lalu Memutar nya sampai pintu itu dapat Kafeel buka.

Bersih, minimalis, nyaman. 3 kosa kata itu dapat mendeskripsikan pikiran Alaska saat pintu sudah terbuka lebar. Kafeel mengajak nya untuk masuk ke dalam rumah, Alaska melihat satu bingkai yang berukuran 24 R mungkin dalam Inchi adalah 24 X 31,5. Ada di dinding ruang tengah.

Membuat kesan elegan ditambah dengan wallpaper berwarna coklat dengan corak bunga putih kecil di setiap baris nya. Dalam foto tersebut ada 3 laki-laki dan 2 perempuan. Yang Di salah satu keduanya adalah orang tua Kafeel, tandanya Kafeel memiliki 2 saudara.

Alaska mendekati meja kayu berbentuk persegi panjang, ada 5 buah bingkai berukuran kecil berbaris secara zig-zag. Dalam bingkai pertama adalah foto orang tua Kafeel yang sedang menggendong 1 bayi ralat ada Ibu Kafeel yang sedang menggendong bayi dan di sebelahnya,
Papa Kafeel yang tersenyum bahagia.

Alaska maju satu langkah, mendekati bingkai ke-2. Dalam bingkai foto ke-2 adalah foto 3 anak kecil yang sedang bermain di hamparan rumput beralasan tikar dengan ekspresi yang berbeda-beda. Menangis, menjulurkan lidah, dan tertawa.

Alaska maju lagi satu langkah, mendekati bingkai ke-3. Dalam bingkai foto ke-3 adalah foto Arfa dan kedua saudaranya sedang saling merangkul. Kacamata hitam bertengger manis di wajah mereka. Dengan Latar belakang menara Eiffel di siang hari.

Saat Alaska akan maju kembali untuk melihat bingkai ke-4, suara Kafeel membuat ia mengurungkan niat nya. Lalu berbalik ke arah Kafeel yang sedang menuruni tangga. Pakaian nya sudah berubah. Dari formal berubah jadi lebih santai.

Kafeel memakai kemeja kotak-kotak berwarna hitam merah, kancing di tengah kemeja sengaja ia buka semua. Kaos berwarna hitam menjadi dalaman nya, celana jeans berwarna hitam dan sepatu sneakers berwarna hitam bertali putih menjadi alasnya.

"Lo nggak bilang bakal dateng kesini, kalo gitu tadi gue nggak usah ikut nyokap sama bokap pergi ke kondangan." Sahut Kafeel, tangan nya sibuk menggulung kemeja nya sampai siku.

Alaska tersenyum canggung, otak nya sedang berpikir keras. Berpikir akan memanggil Kafeel dengan embel-embel kak atau langsung dengan nama nya saja. Namun jika Alaska langsung memanggil namanya, kesannya pasti tidak sopan.

Kafeel tiba-tiba menyodorkan minuman Soft drink ke hadapannya, Alaska menerima nya dengan senang hati.

"Panggil nama aja, lagian gue sama lo cuman beda 2 tahun doang kan." Kata Kafeel saat ia mengetahui bahwa Alaska menduduki kelas IX.

"Nggak deh, nanti gue kesan nya nggak sopan sama lo. Gue panggil Abang Kafeel atau Kak Kafeel aja." Sambar Alaska, jari telunjuk nya mengetuk ngetuk di bibir nya.

"Nggak apa-apa kali, ini aja lo udah lo-gue an sama gue masa masih sungkan buat manggil nama gue langsung."

"Eh iya ya, tapi kalo lo-gue an. Nggak apa-apa kan Bang."

Kafeel mengajak Alaska ke taman belakang, duduk di gazebo seraya menikmati langit cerah pada siang ini.

"Terserah lo aja, mau lo-gue an, mau manggil gue bang Kafeel manis juga gue tetep nengok kok kalo lo panggil." Kata Kafeel diakhiri kekehan kecil. Lalu Kekehan itu menular pada Alaska.

"Oh iya bang, makasih buat kemarin. Maaf kemarin gue nggak bantu lo waktu lo lagi adu argumen sama ayah. Soalnya pikiran gue bener-bener belum bisa nerima apa yang gue Denger dan gue liat." Jelas Alaska, pandangan nya terfokus ke arah minuman kaleng yang ada di genggaman nya.

Kafeel mengangguk, "Gue ngerti kok, santai aja."

"Oh iya, kalo gue boleh tau. Sebenernya masalah apa sih yang buat kakak lo tuh sampe ditampar gitu. Kalo itu privasi juga nggak apa-apa." Kafeel memulai obrolan, menjadi lebih serius.

"Nggak apa-apa, semua nya berawal
dari 4 tahun yang lalu bang." Alaska menjeda sebentar, "4 tahun lalu gue masih kelas 6 SD dan Kak Athifa kelas 7 ter—."

Belum selesai Alaska berbicara Kafeel menyambar, "Berarti gue kelas 8 dong ya."

Alaska terkekeh geli mendengar pernyataan Kafeel, "Iya, terus. 4 tahun lalu, sekretaris ayah pernah bilang sama bunda—"

Salam hangat
Pacar halu Tom Holland

Athifa - s e l e s a i -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang