Kota Pecinan

35 2 0
                                    


Senja membungkus langit kota, sisa-sisa hujan menggenang di jalan yang mulai rusak, udara lembab membaur menjadi satu dengan udara kotor kota.

Naya masih riang menyusuri trotoar kota, dia Nayakahiyang. Gadis yang begitu periang, cantik dan redup pandangannya. Baginya kenangan selalu menjadi hal indah, ruko-ruko yang berjajar memberikan kesan kuat kenangan diingatannya. Naya tetap riang menatap aktifitas padat perkotaan, baginya ini pemandangan indah, walaupun banyak orang mengaggap perkotaan adalah sesuatu yang rupek, panas dan kotor. Namun, bagi Naya inilah keindahan, karena setengah kenangan hidupnya ada disini.

Pecinan, tempat favorit Naya untuk bernostalgia. Sebuah perkampungan Tionghoa yang terbesar di kota, dengan deretan pertokoan yang sebagian besar milik masyarakat China. Naya masih tetap melangkahkan kakinya dengan riang, memandang penuh bahagia sekitar. Hampir semua penjual makanan keliling, tukang becak yang selalu berhenti di atas trotoar, Ko koh China yang menjaga toko, terlihat riang menyapa Naya. Naya yang begitu ramah memberikan senyum terbaiknya.

Langkah Naya terhenti, berdiri tegap menatap sebuah toko yang usang, dengan palang nama toko yang sudah karatan dimakan usia, " Huang Fu." Nama toko yang tertulis diatas palang itu. Naya menatap nanar sekitarnya, kenangan terindahnya ada di sini. Toko ini dulunya menjual berbagai lampu hias. Sejak SMP, Naya suka mengoleksi berbagai model dan bentuk lampu hias, sepulang sekolah Naya pasti menyempatkan untuk berkunjung ke toko ini, walaupun hanya sekedar melihat kerlap-kerlip lampu hias yang di pajang. Nuansa toko begitu indah, dengan tulisan mandarin dan hiasan berwarna merah yang menyala, menjelang imlek pasti semua toko pecinan yang ada di kota ini akan terlihat indah. Naya berjalan menyusuri sudut-sudut toko yang dipenuhi lampu hias berbagai bentuk dan ukuran, hatinya terasa bahagia memandangi siluet warna-warni, hingga matanya tertuju pada suatu benda berwarna emas, tangan benda itu bergerak naik turun, " Apakah ini lampu hias berbentuk kucing, tapi kenapa tidak menyala?", Naya bergumam. " Itu namanya kucing Maneki Neko." Suara yang datang sontak membuat Naya kaget. Pemuda berwajah oriental sudah berdiri di sampingnya.

" Eh, maaf Koh," Naya tertunduk malu.

" Jangan panggil aku Ko koh. Namaku, Chen." Pemuda itu mengulurkan tangannya, tersenyum begitu manis dengan mata yang nyaris hanya terlihat seperti garis.

Naya membalas tangannya, " Aku Naya, Nayakahiyang," Mata besarnya yang indah mengerjap-ngerjap.

Chen Huang Fu, laki-laki berwajah oriental dengan gesture tubuh tinggi dan gagah, rahangnya terlihat kokoh, dengan senyum manis yang selalu tercipta di wajahnya. Chen adalah laki-laki yang memulai semua kisah ini, laki-laki yang memberikan kerinduan besar di hati Naya. Itu adalah pertemuan pertama mereka, di toko lampu hias milik ayah Chen, Lie Huang Fu, yang menikah dengan wanita pribumi namun, juga masih keturunan Tionghoa, Mei Ratnasari.

" Lalu apa fungsi kucing ini, Chen?," Naya penasaran.

Chen tertawa mendengar itu, " Menurut kepercayaan China, kucing Maneki Neko ini membawa keberuntungan dan rezeki bagi pemilik toko ataupun restoran yang memajang kucing ini."

Naya mangut-mangut mendengarkan, " Kok bisa gitu, gimana ceritanya patung kucing membawa rezeki?".

Chen tersenyum memandang wajah Naya yang terlihat polos, " Aku tidak terlalu percaya akan hal itu, patung itu hanya perlambangan," Chen menatap langit-langit toko, seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Ada banyak legenda Maneki Neko, tapi yang sering di ceritakan Mama kepadaku adalah Maneki Neko merupakan patung penghormatan bagi kucing yang menyelamatkan seorang samurai".

Naya mendekatkan kupingnya, dia serius sekali ingin mendengar cerita itu, membuat Chen terkekeh melihat ekspresi Naya.

" Baiklah Nay, aku akan menceritakannya kepadamu. Kisah ini bermula ketika seorang samurai berteduh di bawah pohon karena hujan badai, kemudian sang samurai melihat seekor kucing yang melambai-lambaikan tangan ke arahnya berulang kali. Sang samurai akhirnya menghampiri kucing tersebut masuk ke dalam sebuah kuil tua dan benar saja sesaat setelah menghampiri kucing tersebut, pohon tempat sang samurai disambar petir."

Kota PecinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang