2. Thanks

405 28 0
                                    

"Huh.." hembusku pelan sembari menjatuhkan badanku ke tempat tidur. Badanku rasanya pegal. Aku pun meregangkannya, melemaskan otot-otot yang tegang, pundakku sakit, mungkin karena habis menggendong tas tadi, memang lumayan berat. Secara kan aku anak baru sehingga harus membawa pulang tumpukan buku paket.

Aku masih berfikir, dan otakku belum bisa mencerna kata Aska tadi di sekolah, yang mengatakan kalau Rian sudah bersikap begitu dari dulu. Kok bisa ada anak kaya Rian, pendiam banget. Nggak peduli apapun situasi di sekitar, mau ribut atau tenang. Dia tetep aja silent. Bersikap bodo amat, seperti gak ada semangat hidup sama sekali. Heran.

Rian, lo udah berhasil buat gue gila, memikirkan lo, Kenapa juga gue penasaran banget sama lo, hal yang seharusnya tak usah gue pikirkan sejauh ini. Tapi malah membuat gue ingin tau lebih tentang lo. Si misterius penghuni bangku pojok. Oh no, I'm crazy.

"Rafi.. Ayo turun. Makan dulu. Udah Bibi buatin makanan kesukaan Den Rafi nih." Suara Bi Suri menyeruak masuk ke dalam kamarku. Suaranya terdengar lantang padahal kamarku berada di lantai dua. Tapi kedengaran keras banget. Apakah itu yang dinamakan The Power of Emak-Emak?

"Iya bentarrr." teriakku kencang.

"Buruan. Ntar dimakan Pak Ujang loh, dia udah stand bye nih, ati-ati." gurau Bi Suri dan diakhiri tawa. Walaupun usia Bi Suri tak bisa dikatakan muda lagi, alias udah tua. Namun gaya bicaranya masih tetap gaul, seperti anak muda. Kadang dicampur aduk antara bahasa Indonesia, Inggris dan Sunda. Mungkin nanti pake bahasa planet Pluto kali. Saking gaulnya.

Awas aja kalo Pak Ujang yang sok lucu itu, ngabisin makanan gue. Gue habisin dulu tuh orang.

Aku pun mengganti seragam dengan kaos rumahan yang walaupun sederhana tapi tetap nyaman. Maklum lah kaos bertuliskan 'GUCCI', udah pasti nyaman. Tapi bisa bikin dompet jebol.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Berarti hampir setengah jam aku berbaring di kasur empukku ini. Sungguh nikmat rasanya bisa bersantai setelah melakukan rutunitas di sekolah.

***

"Tambah lagi Den, biar cepet gemuk." ujar Bi Suri sambil memperlihatkan senyum ke arahku yang habis selesai makan. Badanku emang kurus tapi tetep berisi. Sedanglah gak kurus-kurus amat dan gak terlalu gemuk.

"Udah ah Bi. Jangan kegemukan nanti kaya Pak Ujang, kalo gak ada kerjaan tidur mulu. Keberatan badan kayanya." celotehku sambil tertawa geli, sengaja aku keraskan suara dan bermaksud menyindir Pak Ujang yang sedang bersantai di kursi samping kolam renang belakang rumah. Tak jauh dari ruang makan yang tengah ku tempati saat ini. Cuma disekat pintu kaca. Entah Pak Ujang dengar atau tidak candaku tadi. Yang jelas dia lagi sibuk membaca koran. Ya.. Itulah Hobby orang tua, suka baca koran. Padahal jaman udah maju, tinggal pake HP, bisa tahu seisi dunia. Atau emang gaptek?  hehehe...Kaya Pak Ujang. Padahal aku tahu maksud dia. Paling cuma ingin lihat gambar cewek cantik. Maklum lah dia kan duda lumutan. Aku tahu karena dia pernah cerita padaku, curhat tepatnya.

"Jangan nyindir Pak Ujang Den. Nanti dia ke ge-eran." kata Bi Suri lagi sambil membereskan piring bekas makanku tadi. Aku pun tertawa sambil menggaruk rambut. Padahal tidak gatal, mungkin reflek.

Aku merenung kembali. Memikirkan Ibu yang sepertinya udah gak sayang lagi sama aku. Buktinya Ibu gak menghubungiku, mungkin sekedar menanyakan bagaimana di sekolah baruku, udah makan atau belum, atau apalah yang membuatku seneng. Tapi nyatanya? kadang Iri liat temen-temen di sekolah. Terlihat raut wajah bahagia di saat orang tuanya menjemput mereka saat pulang sekolah. Aku juga pingin diperlakukan seperti itu. Bisa bercerita banyak hal kepada Ibu atau Ayah saat diperjalanan, sambil bergurau melepas semua lelah, penat setelah hampir 10 jam lamanya mantengin pelajaran, dan mengobatinya  dengan canda tawa. Huft.. Udah lah. Aku bisa gila kalau terus berfikir seperti itu. Maybe this is my destiny. I must be strong.

"Heh. Kok bengong sih. Kenapa, ada masalah?" Tanya Bu Suri. Seketika membuyarkan semua hal yang dari tadi pagi terngiang di kepalaku dan enggan untuk pergi. Apalagi kalau bukan masalah Ibu.

"Nggak apa-apa kok Bi. Its ok." gumamku.

"Bohong deh. Keliatan banget boongnya, jujur aja sama Bi Suri. Kaya gak pernah cerita aja sama Bibi." potong Bi Suri. Sambil menarik kursi meja makan dan duduk tepat di sampingku. Tangan kanannya membelai lembut rambutku. Naluri keibuannya sungguh terasa, padahal ia belum juga dikaruniai anak. Mungkin ia menganggap aku sebagai anaknya sendiri. Kadang aku kasian sama Bi Suri, tapi gimana lagi, udah takdirnya begitu. Terlihat ia tersenyum kearahku yang masih tertunduk, memang dari dulu semenjak ayah meninggal dan ibu sibuk bekerja, aku selalu cerita apapun kepada Bi Suri, dan ia pun dengan senang hati mendengar semua cerita dan keluh kesahku. Tidak jarang juga memberi saran kepadaku tentang masalah yang sedang kuhadapi. Karena Bi Suri sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, bukan sekedar pembantu. Dia dan Pak Ujang selalu menolongku disaat aku kesusahan, mulai dari mengerjakan PR sekolah sampai membuatkan tugas prakarnyaku. Semuanya kompak membantu. Walaupun mereka tak begitu paham tentang tugas sekolahku yang bisa dibilang aneh-aneh. Tapi aku sangat senang dengan perlakuan mereka yang selalu perhatian. Padahal mereka juga sibuk dengan pekerjaannya, namun selalu meluangkan waktu untukku, beda banget dengan ibu.

"Ada masalah di sekolah? Atau apa? cerita dong. Mungkin Bibi bisa bantu." suara lembut Bi Surti seketika menyihirku. Suaranya begitu tenang, sayup-sayup bak pohon kelapa yang melambai-lambai tertiup angin di tepi pantai. Tanpa sadar aku langsung memalingkan badanku ke arah Bi Suri dan memeluknya dengan erat. Ia pun tak segan menyambut pelukanku. Kedua tangannya melingkar erat di tubuh kecilku. Dagunyapun disandarkan di bahuku. Aku begitu nyaman berada di pelukan Bi Suri, wanita tangguh yang selalu ada di sampingku, apapun situasinya. Seperti sekarang ini, disaat perasaanku tengah berkecamuk. Ia seperti malaikat yang datang memberi pertolongan.

Suasana berubah hening. Butiran air mata meluncur perlahan ke pipiku dan jatuh ke pundak Bi Suri. Entah mengapa aku merasa lemah saat ini, lemah berada di pelukan ibu keduaku. Setelah ibu pertama yang tak mau menghiraukanku. Binatang saja tidak tega meninggalkan anaknya, apalagi manusia yang dibekali akal oleh Tuhan. Namun itu tidak berlaku bagi Ibu. Dia udah punya dunianya sendiri, hingga lupa dengan kewajibannya. Yaitu aku, anaknya.

"Kenapa Den Rafi sedih? Cerita ke Bibi, Bibi jadi ikutan sedih nih. Udah jangan nangis." ucap Bi Suri dengan air mata yang juga mengalir deras, ia melepaskan pelukannya dan menatapku dengan penuh kasih sayang.

"Rafi lelah Bi, lelah.. Aku butuh ibu, butuh seorang figure orang tua, apalagi notabennya dia berperan sebagai ayah juga. Orang tua tunggal, tapi Ibu gak sayang lagi padaku, iya aku tahu. Dari dulu, semenjak ayah meninggal aku jarang bertemu Ibu, tapi sekarang aku benar-benar butuh sosok ibu Bi. Saat di Jakarta saja aku jarang ketemu Ibu, apalagi sekarang aku udah jauh di Bandung, pasti semakin jarang aku bertemu Ibu. Aku harus gimana Bi, apa aku harus mati? Biar ibu mau menemuiku? Mau memperhatikanku yang sudah terbujur kaku tak bernyawa." aku tak sadar apa yang telah aku ucapkan, kata itu keluar dengan sendirinya. Dan tangisku semakin pecah hingga Pak Ujang menoleh ke arah kami.

"Siapa yang mengajari Den Rafi begitu? Sadar Den, Bibi gak suka Den Rafi bicara seperti itu lagi, gak baik. Dengarkan Bibi, sekarang Bu Dewi kan pemilik kantor peninggalan almarhum Pak Setya. Sudah pasti sibuk, maklum lah pekerjaannya banyak. Nanti kalau udah gak sibuk lagi pasti datang kesini, bertemu kita. Bu Dewi pasti sangat sayang sama Den Rafi, gak mungkin tidak, karena Bibi tahu perasaan wanita terhadap anaknya, walaupun Bibi sendiri gak punya anak. Bibi udah anggap Den Rafi seperti anak kandung Bibi. Percaya sama Bibi Den, tenang.. Semua akan indah pada waktunya. Loh kok kaya judul lagu jadinya Den." penjelasan Bi Suri sungguh membuatku tertegun. Dia sangat sabar saat menghadapi masalah. Berkatnya pun aku semakin tenang daripada tadi. Aku sadar bahwa Ibu tak sekejam yang aku bayangkan. dia memang malaikat sesungguhnya. Aku sangat bersyukur bisa bertemu orang seperti dia. Tulus, sabar dan ikhlas. Namun aku malah salfok mendengar kalimat terakhir yang sontak membuatku tertawa. Candaan recehnya berhasil mencairkan suasanya yang sebelumnya kaku. Thanks Bi Suri, karena sudah menjadi malaikat penolongku, menjadi pelangi yang muncul setelah hujan badai. Engkaulah harapanku untuk tetap menjalani hari-hariku. Sekali lagi Thank you Bi Suri. I love you.

To be continue...

Voment dong, vote and comment.
Bantu support. Biar lebih semangat lagi melanjutkan ke part selanjutnya.

I hope you enjoy with my story.
Be a wise reader.

My Possesive FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang