---0---
“Arga!” teriakku memanggil Arga yang tengah berjalan menuju parkiran mobil.
Dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. “Arkan ke mana? Kok dari tadi gue nggak lihat?” ujarku saat sudah berhadapan dengannya.
“Oh, Arkan? Hari ini ada latihan basket katanya.”
“Sejak kapan latihan?”
“Abis istirahat dia langsung pergi sama tim nya. Nggak tahu deh, mau tanding di mana.” jawabnya.
Aku menghela napas kasar, “Kalau dicariin ilang, kalau nggak dicariin nongol terus!”
Arga tertawa. “Ada urusan apa lagi sih, lo berdua?” dia bertanya.
“Gue tuh butuh temen ngobrol. Eh! dia malah ngilang—”
“Ngobrol sama gue aja,” ujarnya santai sembari mempermainkan alisnya.
“Kalau gue ngobrol sama lo, yang ada darah gue naik sembilan puluh derajat!!”
“Yee... lo kira gue apaan!” Dia mulai merangkul aku, “yang namanya Arga Dirga Jaya itu nggak bakal ngecewain.” ucapnya.
Aku segera menepis tangannya dari bahuku. Aku berdecak kesal, “Ihh! Gue nggak mau sama lo, Argaaa!!”
Saat itu, seseorang datang melangkah ke arahku juga Arga. Orang itu adalah Naufal, dia berjalan sendirian mendekatiku. Aku terdiam memandangnya seakan-akan aku menunggu untuk menyambutnya.
“Pulang bareng ya, Kak?” sahut Naufal saat sudah berada di hadapanku.
“Widihh! Sekarang kalian berdua deket nih, atau udah pacaran?” ujar Arga menimpali. “Bisa aja lo Cha, nyari cowok!” lanjutnya.
“Berisik. Naufal ngomong sama gue, bukan sama lo Argaaa!!!” ku kembali berteriak padanya. Arga memang selalu menyebalkan!
“Iya, iya! Kalau gitu gue cabut deh, panas lama-lama ngelihatin kalian berdua.” Dia kembali berjalan menuju parkiran untuk mengambil kendaraan yang dia pakai.
“Isshh...” Aku kembali melirik Naufal yang sedari tadi terdiam menunggu jawabanku. “Bukannya lo harus belajar ya, buat persiapan Olimpiade nanti?” tanyaku ke Naufal.
Dia menggeleng, kemudian tersenyum kepadaku. “Latihan itu nggak harus setiap menit kan, nggak harus setiap jam.” jawabnya.
Aku tersenyum kecil, senang saja mendengar jawaban Naufal tadi. “Berarti sekarang lo free dong, dari temennya Kak Sandi?”
“Cemburu ya, gara-gara Kak Falsi?” ucapnya dengan sangat percaya diri. Aku yakin kata-kata yang aku keluarkan tadi salah dimata Naufal, atau mungkin itu memang kenyataannya? Arrrrggh!
“Ooh.. namanya Falsi, gue nggak cemburu kok!” jawabku yang berusaha bersikap biasa saja—apa adanya di hadapan Naufal.
Naufal tertawa samar, “Cemburu juga nggak apa-apa. Malah aku suka kalau kakak cemburu,” katanya.
Aku tidak tahu, kenapa setiap kali ada di dekat Naufal rasa nya aku senang. Aku senang karena sikapnya yang selalu berhasil membuatku tersenyum, membuatku seakan aku lah penyebab dia tersenyum manis seperti itu.
“Kalau beneran cemburu, itu tandanya cinta.” Lagi-lagi dia berkata seakan dunia miliknya. “Kalau pura-pura nggak cemburu, itu tandanya sayang.”
“Definisi lo salah, Fal.” ucapku ingin membenarkan. “Kalau marah itu tandanya sayang, gitu.” tegasku padanya.
“Sekarang kakak marah nggak sama aku?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Naufal
Fiksi Remaja"Tugasku adalah buat kamu seneng," kata Naufal. Aku hanya senyum-senyum sendiri saat itu, membebaskannya berbicara tanpa ragu. Tapi itulah yang selalu dilakukan Naufal agar tidak terlalu kaku saat bersamaku. Bagiku, dia itu orang pertama yang...