Canggung

118 8 0
                                    

Meldina merasa canggung berada di boncengan motor Abenta. Ya, mereka sekarang tengah berada di jalan, diatas motor matic Abenta. Setelah bel sekolah usai, Meldina sudah melihat Abenta menunggunya di depan gerbang sekolah. Ia melontarkan senyum sebentar dan langsung duduk diam di jok belakang motor. Abenta pun terlihat diam saja. Mungkin Abenta sama gugupnya dengan dirinya.

"Kita mampir makan dulu ya Mel?" Tanya Abenta membuyarkan lamunan Meldina yang tengah duduk di motor sambil berpegangan pada tas ransel Abenta.

Kondisi jalan yang lenggang, membuat suara Abenta terdengar sangat jelas. Bahkan Meldina bisa menangkap suara Abenta yang agak bergetar.

"Terserah kamu aja," ucap Meldina dengan kalimat ajaib yang sering kali diucapkan cewek ketika ditanya pacarnya.

"Mau makan apa?"

"Terserah kamu, aku ikut kamu aja."
Meldina mengutuk kalimat yang keluar dari mulutnya. Kenapa hanya jawaban 'terserah' yang ia ucapkan? Biasanya cowok akan merasa sangat kesal ketika pacarnya menjawab dengan kalimat tersebut. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur.

"Makan mie ayam aja yuk," akhirnya Meldina mengatakan itu agar Abenta tidak kesal padanya.

"Ehmm..  oke!"

Dan disinilah mereka berada, di warung mie ayam pinggir jalan. Meski di pinggir jalan, namun tempatnya cukup bersih dan nyaman.

Meldina dan Abenta duduk saling berhadapan dengan meja panjang sebagai pemisah. Sambil menunggu pesanan datang, tidak ada obrolan yang berarti. Bahkan mereka cenderung diam.

Meldina adalah orang yang sulit untuk memulai sebuah percakapan. Ia berharap Abenta memulai obrolan mereka, sekedar mengucapkan hal remeh atau basa-basi. Karena keadaan yang sunyi seperti ini membuatnya makin salah tingkah. Canggung. Meldina bolak-balik melirik Abenta yang terlihat memainkan ponsel. Ia ingin bertanya, tapi lidahnya kelu. Jantungnya pun tidak terkontrol degub suaranya.

"Aduh.. berasa syuting drama horor gue. Deg-degan gila," batin Meldina.

Hingga pesanan mereka datang, tidak ada satu pun percakapan yang muncul. Meldina mendesah berat. Kenapa hubungan mereka secanggung ini sih?

Meldina makan makanan kesukaannya dalam diam. Ia berulangkali hanya mengaduk-aduk makanannya. Ia sedang tidak berselera. Atau lebih tepatnya ia belum terbiasa makan berdua dengan cowok yang berstatus sebagai pacarnya. Canggung dan risih mungkin. Mungkin perasaan inilah yang menghambat hubungannya untuk berkembang.

Meldina melihat Abenta yang memakan makanannya dengan lahap. Ia tersenyum dalam hati. Dalam posisi makan  seperti itu membuat Abenta makin terlihat keren. Abenta menyeruput mie terakhir di mangkoknya dan mengelap mulutnya dengan tisu yang tersedia di meja.

"Kamu udah makannya?" Tanya Abenta.

Meldina terlihat gelagapan karena merasa ketahuan telah mengamati Abenta dalam diam.

"Oh.. U-udah. Kamu udah?"

Abenta mengangguk dan meminum es tehnya hingga tandas.

Bodoh," rutuk Meldina dalam hati. Sudah tahu mangkok Abenta kosong, kenapa harus dipertanyakan lagi. Abenta bukan manusia rakus yang akan makan semangkok mie ayam porsi  jumbo untuk kedua kalinya. Memangnya Abenta si Kentung yang doyan makan. Meldina menggerutu dalam hati sambil berusaha menampilkan senyum termanisnya demi menutupi kecanggungannya.

"Kalo udah, kita balik ya? Kayanya udah mau Magrib."

Meldina mengangguk dan berjalan mengikuti Abenta menuju motor matic yang terparkir di pinggir jalan.

Abenta menjalankan motor maticnya membelah jalanan aspal yang terlihat lenggang. Maklum, mereka tinggal di kota kecil yang tidak padat penduduknya. Meski sudah banyak gedung pertokoan di kota tersebut, namun masih bisa dijumpai sawah yang membentang luas dan pepohonan yang rindang.

Tidak terasa perjalanan dua puluh menit dengan kebisuan tersebut mereka lewati. Hingga akhirnya motor Abenta berhenti di pinggir jalan menuju gang masuk rumah Meldina. Sebenarnya motor bisa masuk ke gang rumah Meldina, namun Meldina melarang Abenta mengantarnya sampai depan rumah. Dan peraturan tersebut ia berlakukan untuk semua cowok yang pernah jadi pacarnya. Meldina masih sungkan untuk mengenalkan pacarnya pada kakek dan neneknya.

Meldina turun dari motor matic Abenta dan mengucapkan terima kasih.

"Makasih Abenta, hati-hati ya?" Ucap Meldina dan ditanggapi Abenta dengan sebuah anggukan. Heran deh, dari tadi jawaban pakai anggukan terus.

Seharusnya buka begitu salam perpisahan untuk sepasang kekasih. Setidaknya harus ada adegan cipika-cipiki seperti di sinetron. Tapi sayangnya ini bukanlah sebuah sinetron, melainkan hanya kisah membosankan percintaan Meldina yang kaku.

Malam harinya Meldina tiduran di kamar sambil memainkan ponselnya. Dan ia menerima banyak pesan singkat dari Sandi. Ia baru ingat kalau selama pergi dengan Abenta tadi, ponselnya pada mode senyap.

Pulang sekolah tadi kemana? Gue tadi ke kelas lo, tapi lo udah ga ada. Kata fita lo pergi sama cowok lo.

Lo kok ga cerita kalau lo udah punya cowok?

Lo masih anggap gue sahabat lo kan?

Mel-mel

Meldi

Meldina!! 😠😠

Meldina hanya mampu geleng kepala dengan kelakuan sahabatnya itu.

'Apaan sih? Emoticon nya ga banget.'

Ya lo sih, dari tadi gue sms ga dibales.

'sibuk gue'

Sok sibuk banget. Bilang aja pacaran 😒

'siapa bilang?'

Udah deh ga usah ngeles kaya abang gojek lagi kejar setoran. Kenapa sih lo ga bilang kalo lo udah punya cowok?

'😁😁'

Apaan emo kaya gitu? Ga butuh gue! Gue cuma butuh cerita lo. Titik!!

Aje gile, kalo Sandi sudah seperti itu mau tidak mau besok Meldina harus cerita tentang Abenta. Sandi kalau sudah marah, bisa seabad baru luluh. Untung sahabat, kalau bukan sudah Meldina kirim ke hutan Alaska.

Tbc

PUPUS (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang