Kantia's POV
Seleksi Basket sore ini terasa sangat melelahkan, terutama saat sesi pertama. Karena tidak ingin sakit, aku mengganti bajuku, dengan baju yang lebih santai. Menggunakan baju yang basah dengan keringat bisa menimbulkan demam.
Biasanya Dena selalu pulang bersamaku, tetapi kali ini tidak, baru saja ia dijemput pulang oleh kekasihnya. Dena mengajakku untuk pulang bersama, tetapi aku tidak mau, malas sekali harus menjadi kambing conge demi tumpangan gratis. Lebih baik aku naik ojek.
Pohon besar di pinggir jalan menuju sekolahku merupakan tempat langganan ketika aku menunggu ojek lewat. Namun semuanya tidak berjalan sesuai rencana, hujan semakin lebat dan tak satupun tukang ojek yang terlihat. Untung pohon ini berdaun rimbun, setidaknya aku bisa sedikit berlindung dibawahnya.
Perlahan aku mendengar suara deru motor yang mendekat. Mungkin itu adalah motor yang akan lewat saja, pikirku. Tetapi ternyata parkir di depanku.
Setelah memarkir motor jenis Trailnya, sang pemilik berlari kecil untuk ikut berteduh di bawah pohon yang sama. Ia berdiri sekitar lima langkah dari kediamanku, terlihat beberapa tetes air hujan sudah berhasil menembus pakaiannya. Awalnya aku tidak menyadari siapa dia, sampai ia menoleh kearahku, dan kami sama-sama terkejut.
"Hey!" ucap kami bersamaan, kami tertawa terbahak untuk beberapa saat.
"Takdir ya?" ucapnya menoleh ke arahku.
"Takdir apa?" tanyaku balik.
"Baru aja kita kenalan di dalem gor, sekarang udah ketemu lagi pas neduh" ucapnya.
"Takdir ya? Gue gak tau, tanya aja sama Tuhan" ucapku.
Dia tersenyum, tanpa menjawab perkataanku. Kulihat tangannya menadah, menahan air hujan beberapa saat sebelum benar-benar turun ke bumi. Matanya menatap langit, seperti tengah mencari tahu dari mana air hujan itu berasal.
"gak langsung pulang?" ia kembali bertanya.
"Belum, ini masih nunggu ojek" kataku.
Ia juga bertanya perihal kemana perginya Dena. Aku bilang dia sudah pulang duluan bersama kekasihnya. Kemudian pertanyaan selanjutnya yang membuatku sedikit kesal. Menapa aku tidak pulang juga bersama kekasihku, aku hanya menjawab singkat bahwa aku tidak memiliki kekasih. Karena aku menjawab seperti itu, dia menertawakanku.
"Emang lo sendiri punya pacar?" tanyaku balik.
Dia berhenti tertawa "emmm, enggak" katanya singkat.
Perutku seperti tengah digelitik, ingin tertawa tetapi aku tahan. Hanya bisa sedikit tersenyum lebar itupun aku tutup dengan jemariku.
"Ketawa aja, gak usah ditahan. Gue gak bakalan marah kayak lo" ucapnya menoleh kepadaku.
"gak jadi ah, masa lucunya udah habis" kataku.
"kaya masa garansi aja ada habisnya"
Dari penampilan, tingkah, dan motor yang ia pakai, aku bisa sedikit menyimpulkan bahwa ia terlihat seperti 'manly girl' atau wanita tomboy. Celana jeans, kaos hitam dengan gambar sablonan gitar listrik, tas ransel, rambut diikat, dan sepatu conv*rs yang ia pakai. Walau penampilannya terlihat santai, menurutku ia cukup keren dengan semua penampilan itu.
"Emang lo gak bawa jas ujan?" tanyaku.
"Bawa" ucapnya.
Keningku berkerut "terus kenapa gak dipake".
"Gue gak suka pakenya. Lebih baik ujan-ujanan dari pada harus pake jas ujan" ucapnya tanpa menoleh.
"Orang aneh" batinku.
"Terus kenapa gak langsung pulang aja, ujan-ujanan?" aku kembali bertanya.
"Gak tau, tiba-tiba aja pingin neduh di sini. Padahal biasa juga suka langsung pulang, jarang neduh. Males" katanya.
Aku terdiam, walau hatiku beberapa kali mengumpat. Mengumpat bahwa ia adalah orang aneh.
"Aku bukan orang yang senang berteduh ketika hujan" ucapnya sambil menatap langit.
Saat itu adalah saat pertama Gusna berbicara dengan menggunakan 'aku' kepadaku.
Walau tidak sepenuhnya berhenti, hujan sudah terasa lebih reda dari sebelumnya. Tukang ojek belum satupun terlihat. Lagi-lagi aku menghela napas karena bosan.
"Gue anterin pulang. Yuk!" katanya.
Aku sedikit ragu untuk menerima tawarannya.
Ia memperlihatkan layar ponselnya "Lihat, sekarang udah jam setengah enam. Gak takut di sini terus nungguin ojek? Masih mending ada, gimana kalau gak ada?" ucapnya.
Yang dikatakan Gusna ada benarnya. Mengerikan sekali jika harus menunggu ojek di bawah pohon besar ini, dengan waktu yang sudah sangat sore.
"Ya udah deh" kataku.
Gusna memberikan jas hujannya kepadaku. ia memaksaku untuk memakainya supaya tidak kehujanan. Sedangkan dia sendiri hanya menggunakan jaket biasa.
Ketika aku menggunakan jas hujan Gusna, entah kenapa resletingnya macet dan aku kesulitan memperbaikinya.
"Ini sih cuma bisa sama yang punya" katanya.
Gusna membatuku untuk meresletingkan jas hujan. Rasanya sedikit canggung, jarakku dan Gusna sekarang terpaut cukup dekat. Dan untuk pertama kalinya, aku bisa melihat wajahnya dengan jarak sedekat ini.
"Ke arah mana?" tanyanya saat aku sudah duduk di jok belakang motornya.
"Sana!" tunjukku ke arah kanan.
"Searah dong. Gue gak tau rumah lo, tujuk-tunjukin aja yah" ucapnya sambil berlalu meninggalkan tempat itu.
Aku hanya meng-iya-kan perkataannya. Sepanjang perjalanan aku tidak berhenti berbicara dengannya. Mulai dari pertanyaanku, pernahkah dia pake jas hujan. Katanya pernah, cukup sering, saat dia tidak mau bajunya basah, sedang kedinginan, atau dipaksa pembantunya untuk memakai jas hujan. Tetapi selebihnya tidak. Dan katanya itu juga terpaksa.
Aku pikir walau aku baru bertemu dengannya, Gusna orang yang asik. Walau perkataannya menyebalkan, tetapi akhir-akhirnya aku selalu tertata karena guyonannya.
Namun, walau terdengar asik. Gusna kadang terlihat memiliki sisi yang dingin. Buktinya saat Basket tadi, dia terlihat melakukan semuanya sendiri, tanpa seoarang teman atau siapapun. Tetapi menurutku, kesan awal dari pertemuan pertama ini, aku rasa dia orang yang baik.
Aku baru menyadari sesuatu, hari ini, di perkenalan pertama ini. Dia sudah membantuku sebanyak dua kali. Coba kalian ingat-ingat saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time [GirlxGirl] (Editing)
Romance#1 in realstory ( 10 September 2019) #1 in musik ( 17 September 2019) Waktu menyimpan segalanya, termasuk kehidupan yang akan kita lalui kelak. Tapi bagaimana jika waktu mempertemukan dengan hal yang belum pernah kita pikirkan sebelumnya, Apakah kit...