Berlarian tak tentu arah sembari berteriak meminta tolong. Hanya itu yang bisa Nadia lakukan. Sekitarnya sangat sepi, gang-gang di kanan dan kiri terlihat gelap gulita seperti lorong rahasia yang sering muncul di dalam film-film horor.
Sesekali menoleh untuk memastikan keadaan. Namun sama saja, ketiga preman di belakang sana masih mengejar. Gadis tujuh belas tahun itu hanya bisa pasrah akan apa yang terjadi nantinya.
Jika mereka melakukan hal yang tidak terpuji ... tidak!
Nadia tidak boleh berburuk sangka, ia harus berusaha agar terbebas dari ketiga penjahat itu. Namun sayang, langkahnya mulai terseok, napasnya tidak teratur, perutnya sakit seperti ditusuk ratusan jarum. Begitulah jika mudanya tidak rutin olahraga, baru lari sebentar saja sudah lelah.
Berbelok ke dalam gang yang menghubungkan dengan perumahan mewah milik warga. Nadia tidak tahu ia di mana, yang jelas dirinya butuh pertolongan.
Di ujung jalan sana terlihat sebuah tongkrongan geng motor yang tampaknya penuh dengan para lelaki. Gadis itu sedikit tenang, namun tidak untuk detik berikutnya. Jika dia meminta tolong kepada mereka, apakah para lelaki tampan itu akan berbuat baik kepadanya? Belum tentu.
Tapi apa salahnya dicoba ... tidak yakin. Jumlah mereka lebih banyak daripada ketiga preman di belakangnya. Jika dirinya digilir ... tentu Nadia akan memilih berhenti saja dan pasrah kepada preman-preman itu.
Bukan, bukan begitu. Nadia tentu saja tidak mau jika sampai terjadi hal yang tak diinginkan padanya, tapi ... sebentar. Nadia nampaknya sedikit tidak asing dengan beberapa orang di tongkrongan sana. Buru-buru ia mempercepat larinya, menaruh sepucuk harapan pada mereka.
Gengsi untuk meminta tolong, Nadia memilih berhenti di dekat tongkrongan dan mencoba memancing ketiga preman itu untuk adu mulut. Tentu saja para lelaki yang ada di tongkrongan itu pasti akan terusik dan melihatnya, tapi jika mereka tidak memiliki rasa empati ... alamat sudah hidupnya di tangan preman-preman itu.
"Akhirnya berhenti juga. Udah capek, Neng?"
"Bapak tuh maunya apa, sih?"
Salah satu preman berambut gondrong terbengong saat Nadia memanggil mereka dengan sebutan 'Bapak'. Apa mereka setua itu?
"Kok bapak sih, Neng. Aa' gitu biar romantis."
Ingin muntah saja Nadia rasanya. Dengan muka yang sudah mulai keriput, ditambah lagi tatanan tubuhnya yang tidak karuan, masih pantaskah dipanggil dengan sebutan macam itu? Jangan bercanda!
"Bapak punya istri nggak, sih? Urus anak istri di rumah, jangan ditinggal kelayapan!"
"Kita nggak punya istri, Neng. Eneng mau jadi istri Aa'?"
"Najis!"
Nampaknya emosi preman itu mulai tersulut. Mereka dengan kompak melangkah maju mendekati Nadia, tapi tentu saja gadis itu menghindar dengan memundurkan langkahnya.
Entah batu atau sampah yang Nadia injak, namun hal itu membuat dia hampir saja terjengkang jika tidak langsung ditarik oleh si preman botak. Oh tidak, itu bukan sebuah keberuntungan, justru Nadia akan semakin terancam jika di dekat mereka.
"Lepasin dia brengsek!"
Umpatan dari arah belakang membuat ketiga preman itu terkejut. Terlihat tiga orang pria yang mulai mendekati preman-preman itu. Satu di antaranya melepas paksa cekalan preman yang menggenggam tangan Nadia tadi dan menghajarnya tanpa ampun.
Nadia takut, benar-benar takut. Tubuhnya meringkuk terduduk lemas di trotoar jalan. Hingga seseorang menghampirinya dan tanpa aba-aba menggendongnya di depan dada, membawa Nadia mendekat ke arah segerombolan laki-laki.
"Tenang, lo aman sama kita."
Nadia hanya terdiam mendengarkan. Ia tidak kenal siapa lelaki itu, tapi entah mengapa ia percaya begitu saja.
Sampai pada saatnya ketiga orang yang menghajar para preman tadi kembali berkumpul. Wajah mereka terdapat beberapa lebam, sontak saja beberapa temannya yang lain segera membantu dan mengobati dengan P3K yang tersedia di dalam sebuah rumah.
Nadia melihat mereka, dia juga ingin membantu. Tapi baru mengumpulkan niat, salah seorang lelaki tadi sudah memeluknya dengan erat seolah takut jika gadis itu kenapa-napa. Nyaman, Nadia sangat nyaman dengan pelukan itu, hingga tak terasa bulir-bulir air mata membasahi kedua pipinya.
"Jangan nangis."
"Maaf, maaf karena aku kalian jadi babak belur kayak gini."
"Sejak kapan aku bolehin kamu nyalahin diri sendiri? Sekarang aku antar pulang."
Nadia menurut saja saat tangannya ditarik menuju salah satu motor berwarna merah yang terparkir pada barisan motor-motor mahal itu. Ia tidak bisa berhenti menangis, sepanjang jalan saja wajahnya ditenggelamkan pada punggung lelaki itu agar wajah sendunya tidak terlihat.
Sekitar pukul sembilan malam, Nadia sampai di rumah. Ia turun dari motor dan mengucapkan terima kasih kepada pria di hadapannya yang tak lain adalah Angga. "Kamu besok harus cerita sama aku kenapa tadi sampai nyasar ke sana."
Nadia mengangguk. Untuk saat ini ia memang belum sanggup berbicara banyak. Dirinya masih sedikit trauma. "Ke dalem dulu, biar aku obatin."
Angga tampak menggeleng. Ia melepas helmnya lalu turun dari motor dan mendekati Nadia. Perlahan pria itu membungkukkan badan lalu mengecup kening Nadia lumayan lama.
"Bersihin badan terus tidur! Jangan main HP!"
Setelahnya Angga berbalik dan melangkah menuju motornya kembali. Namun dengan sigap Nadia berlari hingga berhasil menghadang langkah lelaki itu. Ia menginjak kedua sepatu yang Angga kenakan, sedikit berjinjit sebelum akhirnya mencium pelan luka lebam yang ada di pipi lelaki itu.
Setelah puas, ia turun dan mengusap bagian lebam yang lain. "Cepet sembuh, maaf bikin kamu jadi kayak gini."
"Lo harusnya minta maaf karena bikin jantung gue deg-degan, Nad."
Nadia terperanjat. Pipinya memanas seiring dengan berdebarnya jantung di dalam tubuh. Tanpa peduli lagi, gadis itu langsung berlari ke dalam gerbang dan menghilang di balik pintu rumah. Meninggalkan Angga yang sampai saat ini masih berdiri di tempat dengan senyum yang tak juga luntur. Ah, senangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
AcakSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...