Part 11. Domino

689 78 4
                                    


Anpa menatap Putri Yeva dengan tajam. Tongkatnya diketukkan pada lantai tanda kemarahannya yang memuncak. Namun, seakan memandang remeh Anpa tak ada raut takut pada wajah Sang Putri.

"Sudah kukatakan, turuti rencanaku. Mengapa kau menyeret Kanna ke hutan Luvatar? Tak tahu kah kau hutan apa itu?"

"Kau! Jangan pernah menudingkan jarimu padaku! Kau pikir aku seperti ibuku yang akan bergantung padamu? Aku bisa mengerjakan semuanya sendiri."

"Kau benar-benar bodoh, Putri!"

Putri Yeva mengeratkan cengkeramannya pada pedangnya. Ia sangat ingin sekali membunuh penyihir jelek di depannya ini. Namun, ia masih ingat apa yang dikatakan Sang Ratu. Kekuatan Anpa sangat kuat, ia maupun sang ibu bukanlah tandingannya. Karena itu, ia hanya bisa menyalurkan kebenciannya lewat tatapan mata.

"Aku menunggu kedatanganmu beberapa hari ini, tapi kau tak pernah muncul. Sedangkan hari yang tepat adalah malam ini ketika Sang Mahadiraja tidak ada di kediamannya. Lagipula, terbunuhnya satu nyawa apa yang akan merusak rencanamu? Ada tidak adanya dia, aku tetap akan menjadi permaisuri."

Anpa memelotoi Sang Putri yang mengangkat dagunya dengan congkak.

"Ingatlah kau kesini dengan dua tujuan besar, Putri Yeva!"

"Dan salah satu tujuanmu kini sudah tak bisa kau laksanakan lagi."

Anpa mendesis dengan senyum keji melintas di bibirnya. Sorot mata tua itu membuat Yeva gemetar.

"Apa maksudmu?"

"Kau seharusnya belajar kesabaran dari ibundamu. Bagaimana cara bermain dengan musuh, tapi karena kebodohanmu itu, kau menjauhkan darah obat yang kau inginkan." Anpa terkekeh. Kekehannya berubah menjadi tawa menjijikan yang akan membuat pendengarnya ingin menutup telinga.

"Katakan dengan jelas, apa maksudmu?"

"Teratai biru. Darah teratai biru adalah darah obat yang kau butuhkan. Namun sekarang kau telah menjauhkan darah obat itu sendiri," Anpa mendengus, "dari awal aku sudah memperingatkanmu, jangan pernah lakukan tindakan apapun diluar rencanaku. Tapi kau...." Anpa memukulkan tongkatnya kembali dengan raut wajah diliputi amarah.

"Aku tidak yakin, sekembalinya Sang Mahdiraja, apakah ia akan meminangmu ataukah membunuhmu?"

"Ap...apa? Apa maksudmu sebenarnya? Siapa teratai biru? Aku...aku mempunyai tanda teratai biru itu. Aku lah teratai biru. Ibuku telah memastikan kelahiranku pada garis bintang Halianus, kau jangan mengada-ada!" mata Sang Putri memerah karena menahan kebencian pada wanita tua di depannya.

"Kau? Teratai biru?" Anpa tertawa.

Tawa Anpa bergaung dalam ruang kamar tersebut. Masih terkekeh, ia mengangkat jarinya menunjuk wajah putri Yeva.
"Barangkali sihirku waktu itu juga telah merusak sebelah otakmu, wahai putri!" Anpa terkekeh kembali.

"Malam itu, malam dimana bintang Halianus bersinar paling terang di atas langit. Malam yang ditakdirkan dalam ramalan, akan datangnya seorang putri teratai biru yang lahir dengan membawa takdir besar untuk mengubah dunia ini. Seorang teratai biru yang dikhususkan untuk Maharaja Zarkan Tar. Gadis yang membawa sebongkah takdir kematian dan sebongkah kehidupan."

"Teratai biru membawa takdir kutukan kematian pada ibunya. Itu telah tercatat dalam ramalan. Apakah ibumu mati, wahai Putri?"

Hening. Putri Yeva menyoroti Anpa dengan rasa tak percaya sekaligus benci.

"Tidak! Aku tidak percaya padamu! Aku mempunyai tanda teratai pada pundakku." Tangan sang putri meraih gaun yang menutupi pundak kanannya. Dengan keras suara robekan gaun terdengar, nampak sebuah tanda bunga teratai yang tergambar indah pada bahu kanannya.

THE DESTINY (TAKDIR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang