Awal dan Akhir

5 4 0
                                    

"Keterlaluan."

"Benar-benar cucu tidak tau diri."

"Gadis bermuka dua."

"Tidak punya urat malu."

"Dia hanyalah gadis yang menumpang hidup pada kakeknya, tapi saat kakeknya meninggal, dia bahkan tak menangis?"

"Anak jaman sekarang benar-benar rusak."

Kurang lebih seperti itulah caci maki yang dilontarkan oleh setiap orang yang pergi melayat di kediamannya.

Sudah hari ketujuh sejak kematian kakeknya, tapi dua orang yang diharapkannya akan datang untuk menjemput dirinya bahkan tak menujukkan wajahnya. Seakan dia hanyalah orang asing yang dulu sempat dirawat oleh mereka.

"Lisa, ibu dan ayahmu belum datang?" tanya seorang wanita paruh baya.

Lisa menggeleng, gadis itu benar-benar tidak mau diajak bicara selama seminggu ini.

"Lisa, masih banyak orang yang melayat, tidak bisakah kamu berpura-pura sedih dan menangis?" suruh wanita itu.

Lisa mendongak, mengalihkan tatapan sendunya pada bingkai foto kakeknya menuju seorang wanita paruh baya dan menatapnya sinis.

"Aku sedih dengan caraku sendiri, bibi tak perlu menyuruhku agar berpura-pura sedih. Apa bibi pikir aku tidak sedih? Apa kesedihan hanya dapat disampaikan melalui air mata?" Lisa beranjak pergi dari sana, berusaha tak peduli pada tatapan orang-orang dan bisik-bisik yang mereka lontarkan.

Lisa memasuki kamar kakeknya, kamarnya memang berada di depan, jadi dia harus betah berlama-lama dipandangi orang-orang jika ingin kesana. Maka dari itu, dia memilih kamar kakeknya untuk tempat persembunyian sementara.

Lisa mendudukkan dirinya di lantai kamar, memandangi jendela kaca yang tertutup rapat, membayangkan setiap hari kakeknya hanya bisa terbaring di ruangan pengap ini.

Air matanya luruh seketika, bayang-bayang kakeknya sebelum sakit berputar dalam otaknya. Senyum sang kakek yang begitu tulus dan selalu memancarkan kebahagiaan bagi siapapun yang memandangnya.

"Maafkan aku, Kek. Maafkan aku karena tidak bisa menjadi cucu yang berbakti padamu." rintih Lisa sesenggukan.

Ruangan itu gelap, nyaris tanpa cahaya. Hanya ada kerlipan lampu-lampu kota yang terlihat dari jendela kaca.

Lisa mengusap air matanya, masih sesenggukan. Dia berjalan tertatih menuju laci kecil di samping tempat tidur kakeknya.

Sebelum benar-benar menghembuskan nafasnya yang terakhir, sang kakek pernah berpesan padanya untuk membuka laci kecil itu. Beliau berpesan bahwa di dalamnya ada sebuah kotak kecil untuk kado ulang tahunnya yang ketujuh belas.

Dan benar saja, Lisa menemukan sebuah kotak kecil diantara tumpukan kertas dan barang-barang usang lainnya. Lisa membersihkan debu di atas kotak itu, lalu membukanya.

"Jam tangan?"

Sebuah jam tangan berwarna keemasan dan secarik kertas tua yang sudah berwarna kekuningan.

Gunakan hanya sekali saja. Tekan tombol sebelah kanan untuk ke masa lalu dan tombol sebelah kiri untuk ke masa depan. Satu kali tekan sama dengan waktu satu tahun.

Tulisannya terlihat begitu rapi. Tapi, siapakah yang menulis ini? Apa ini semacam tipuan? Untuk apa kakeknya memberikan ini padanya?

Penasaran, Lisa mengantongi kotak itu. Keluar dari kamar kakeknya.

"Kau tidak mau makan malam?" tanya Bibi Ailen.

"Tidak lapar." jawab Lisa dan berlalu pergi menuju kamarnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

About TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang